Sabtu, 18 Januari 2014

LAYANAN TELEMATIKA

Diposting oleh Unknown di 21.21 0 komentar
BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Teknologi informasi dan komunikasi, pada masa sekarang tidak dapat dilepaskan dengan telematika (cyberspace). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan di masyarakat, antara lain dalam perkembangannya, teknologi telematika ini telah menggunakan kecepatan dan jangkauan transmisi energi elektromagnetik, sehingga sejumlah besar informasi dapat ditransmisikan dengan jangkauan, menurut keperluan, sampai seluruh dunia. Pada saat ini informasi sudah banyak berkembang sedemikian rupa, hanya saja harus adanya dukungan teknologi. Teknologi telematika yang telah berkembang sehingga mampu menyampaikan suatu informasi.
Penggunaan teknologi telematika dan aliran informasi harus selalu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk pemberantasan kemiksinan dan kesenjangan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, teknologi telematika juga harus diarahkan untuk menjembatani kesenjangan politik dan budaya serta meningkatkan keharmonisan dikalangan masyarakat.
Sebagai contoh, teknologi informasi sekarang memainkan peranan penting dalam masyarakat di berbagai bidang termasuk pendidikan. Karena belajar tidak hanaya di kelas dan tak perlu repot mencari buku ke took buku,dapan juga menghemat waktu, biaya, tenaga, dan lain-lain


BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Layanan Telematika
Istilah telematika berasal dari bahasa Perancis “telematique” yang merupakan gabungan dua kata, yaitu telekomunikasi dan informatika. Jadi pengertian Telematika sendiri lebih mengacu kepada industri yang berhubungan dengan penggunakan komputer dalam sistem telekomunikasi. Telematika berhubungan erat dengan kebutuhan pengguna (user) untuk pemenuhan informasi yang dinginkan user. Hal tersebut berhubungan dengan layanan- layanan (service) yang ada pada telematika. Yang termasuk dalam telematika ini adalah layanan dial up ke Internet maupun semua jenis jaringan yang didasarkan pada sistem telekomunikasi untuk mengirimkan data. Internet sendiri merupakan salah satu contoh telematika.

2.2 Layanan Telematika dibagi menjadi 4 bagian.

2.2.1. Layanan Informasi
Pengertian Layanan Informasi adalah penyampaian berbagai informasi kepada sasaran layanan agar individu dapat memanfaatkan informasi tersebut demi kepentingan hidup dan perkembangannya. Informasi adalah salah satu aset penting yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup suatu organisasi/bisnis, pertahanan keamanan dan keutuhan negara, kepercayaan publik atau konsumen, sehingga harus dijaga ketersediaan, ketepatan dan keutuhan informasinya. . Informasi dapat disajikan dalam berbagai format seperti: teks, gambar, audio, maupun video.
Tujuan layanan informasi secara umum adalah agar terkuasainya informasi tertentu sedangkan secara khusus terkait dengan fungsi pemahaman (paham terhadap informasi yang diberikan) dan memanfaatkan informasi dalam penyelesaian masalahnya. Layanan informasi menjadikan individu mandiri yaitu memahami dan menerima diri dan lingkungan secara positif, objektif dan dinamis, mampu mengambil keputusan, mampu mengarahkan diri sesuai dengan kebutuhannya tersebut dan akhirnya dapat mengaktualisasikan dirinya.


2.2.2  Layanan Keamanan
Layanan keamanan adalah suatu yang sangat penting untuk menjaga agar suatu data dalam jaringan tidak mudah terhapus atau hilang. Sistem dari keamanan ini juga membantu untuk mengamankan jaringan tanpa menghalangi penggunaannya dan menempatkan antisipasi ketika jaringan berhasil ditembus. Keamanan jaringan disini adalah memberikan peningkatan tertentu untuk jaringan. Peningkatan keamanan jaringan ini dapat dilakukan terhadap :

1)      Rahasia (Privacy)
Dengan banyak pemakai yang tidak dikenal pada jaringan menebabkan penyembunyian data yang sensitive menjadi sulit.
2)      Keterpaduan Data (Data Integrity)
Karena banyak node dan pemakai berpotensi untuk mengakses system komputasi, resiko korupsi data adalah lebih tinggi.
3)      Keaslian(Authenticity)
Hal ini sulit untuk memastikan identitas pemakai pada system remote, akibatnya satu host mungkin tidak mempercayai keaslian seorang pemakai yang dijalankan oleh host lain



4)      ConvertChannel
Jaringan menawarkan banyak kemungkinan untuk konstruksi convert channel untuk aliran data, karena begitu banyak data yang sedang ditransmit guna menyembunyikan pesan.

2.2.2.1 Definisi Keamanan

·         Integrity
Mensyaratkan bahwa informasi hanya dapat diubah oleh pihak yang memiliki wewenang. pada aspek ini system menjamin data tidak dirubah tanpa ada ijin pihak yang berwenang, menjaga keakuratan dan keutuhan informasi serta metode prosesnya untuk menjamin aspek integrity ini.
·         Confidentiality
Mensyaratkan bahwa informasi (data) hanya bisa diakses oleh pihak yang memiliki wewenang. pada aspek ini system menjamin kerahasiaan data atau informasi, memastikan bahwa informasi hanya dapat diakses oleh orang yang berwenang dan menjamin kerahasiaan data yang dikirim, diterima dan disimpan.
·         Authentication
Mensyaratkan bahwa pengirim suatu informasi dapat diidentifikasi dengan benar dan ada jaminan bahwa identitas yang didapat tidak palsu.


·         Availability
Mensyaratkan bahwa informasi tersedia untuk pihak yang memiliki wewenang ketika dibutuhkan. pada aspek ini system menjamin data akan tersedia saat dibutuhkan, memastikan user yang berhak dapat menggunakan informasi dan perangkat terkait.
·         Nonrepudiation
Mensyaratkan bahwa baik pengirim maupun penerima informasi tidak dapat menyangkal pengiriman dan penerimaan pesan.
Keamanan informasi diperoleh dengan mengimplementasi seperangkat alat kontrol yang layak dipakai, yang dapat berupa kebijakan-kebijakan, struktur-struktur organisasi dan piranti lunak.

2.2.2.2 Serangan (gangguan) terhadap keamanan dapat dikategorikan dalam empat kategori utama.

1.Interruption

Suatu aset dari suatu sistem diserang sehingga menjadi tidak tersedia atau tidak dapat dipakai oleh yang berwenang. Contohnya adalah perusakan/modifikasi terhadap piranti keras atau saluran jaringan.

2.Interception

Suatu pihak yang tidak berwenang mendapatkan akses pada suatu aset. Pihak yang dimaksud bisa berupa orang, program, atau sistem yang lain. Contohnya adalah penyadapan terhadap data dalam suatu jaringan.
3.Modification
Suatu pihak yang tidak berwenang dapat melakukan perubahan terhadap suatu aset. Contohnya adalah perubahan nilai pada file data, modifikasi program sehingga berjalan dengan tidak semestinya, dan modifikasi pesan yang sedang ditransmisikan dalam jaringan.

4.Fabrication

Suatu pihak yang tidak berwenang menyisipkan objek palsu ke dalam sistem. Contohnya adalah pengiriman pesan palsu kepada orang lain.
2.3 Layanan Context  Aware dan Event Base


Di dalam ilmu komputer menyatakan bahwa perangkat komputer memiliki kepekaan dan dapat bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi dan aturan-aturan tertentu yang tersimpan di dalam perangkat. Gagasan inilah yang diperkenalkan oleh Schilit pada tahun 1994 dengan istilah context-awareness. Context-awareness adalah kemampuan layanan network untuk mengetahui berbagai konteks, yaitu kumpulan parameter yang relevan dari pengguna (user) dan penggunaan network itu, serta memberikan layanan yang sesuai dengan parameter-parameter itu. Beberapa konteks yang dapat digunakan antara lain lokasi user, data dasar user, berbagai preferensi user, jenis dan kemampuan terminal yang digunakan user. Sebagai contoh: ketika seorang user sedang mengadakan rapat, maka context-aware mobile phone yang dimiliki user akan langsung menyimpulkan bahwa user sedang mengadakan rapat dan akan menolak seluruh panggilan telepon yang tidak penting. Dan untuk saat ini, konteks location awareness dan activity recognition yang merupakan bagian dari context-awareness menjadi pembahasan utama di bidang penelitian ilmu komputer.
Tiga hal yang menjadi perhatian sistem context-aware menurut Albrecht Schmidt, yaitu:

·         The acquisition of context
Hal ini berkaitan dengan pemilihan konteks dan bagaimana cara memperoleh konteks yang diinginkan, sebagai contoh : pemilihan konteks lokasi, dengan penggunaan suatu sensor lokasi tertentu (misalnya: GPS) untuk melihat situasi atau posisi suatu lokasi tersebut.

·         The abstraction and understanding of context
Pemahaman terhadap bagaimana cara konteks yang dipilih berhubungan dengan kondisi nyata, bagaimana informasi yang dimiliki suatu konteks dapat membantu meningkatkan kinerja aplikasi, dan bagaimana tanggapan sistem dan cara kerja terhadap inputan dalam suatu konteks.

·         Application behaviour based on the recognized context
Terakhir, dua hal yang paling penting adalah bagaimana pengguna dapat memahami sistem dan tingkah lakunya yang sesuai dengan konteks yang dimilikinya serta bagaimana caranya memberikan kontrol penuh kepada pengguna terhadap sistem.


Empat kategori aplikasi context-awareness menurut Bill N. Schilit, Norman Adams, dan Roy Want, yaitu :


11.   Proximate selection
Proximate selection adalah sebuah teknik antarmuka yang memudahkan pengguna dalam memilih atau melihat lokasi objek (benda atau manusia) yang berada didekatnya dan mengetahui posisi lokasi dari user itu sendiri. Ada dua variabel yang berkaitan dengan proximate selection ini, yaitu locus dan selection, atau tempat dan pilihan.


22.   Automatic Contextual Reconfiguration
Aspek terpenting dari salah satu contoh kasus sistem context-aware ini adalah bagaimana konteks yang digunakan membawa perbedaan terhadap konfigurasi sistem dan bagaimana cara antar setiap komponen berinteraksi. Sebagai contoh, penggunaan virtual whiteboard sebagai salah satu inovasi automatic reconfiguration yang menciptakan ilusi pengaksesan virtual objects sebagai layaknya fisik suatu benda.


  3. Contextual Informations and Commands
Kegiatan manusia bisa diprediksi dari situasi atau lokasi dimana mereka berada. Sebagai contoh, ketika berada di dapur, maka kegiatan yang dilakukan pada lokasi tersebut pasti berkaitan dengan memasak. Hal inilah yang menjadi dasar dari tujuan contextual information and commands, dimana informasi-informasi tersebut dan perintah yang akan dilaksanakan disimpan ke dalam sebuah directory tertentu.

44.     Context-Triggered Actions
Cara kerja sistem context-triggered actions sama layaknya dengan aturan sederhana IF-THEN. Informasi yang berada pada klausa kondisi akan memacu perintah aksi yang harus dilakukan. Kategori sistem context-aware ini bisa dikatakan mirip dengan contextual information and commands, namun perbedaannya terletak pada aturan-aturan kondisi yang harus jelas dan spesifik untuk memacu aksi yang akan dilakukan.


2.4. Layanan Perbaikan Sumber (Resource Discovery Service)
Layanan telematika yang terakhir adalah layanan perbaikan sumber. Resource Discovery Service (RDS) adalah sebuah layanan yang berfungsi untuk penemuan layanan utilitas yang diperlukan. The RDS juga berfungsi dalam pengindeksan lokasi layanan utilitas untuk mempercepat        kecepatanpenemuan.
Layanan perbaikan sumber yang dimaksud adalah layanan perbaikan dalam sumber daya manusia (SDM). SDM telematika adalah orang yang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan telekomunikasi, media, dan informatika sebagai pengelola, pengembang, pendidik, dan pengguna di lingkungan pemerintah, dunia usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat pada umunya. Konsep pengembangan sumber daya manusia di bidang telematika ditujukan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan pendayagunaan SDM telematika dengan tujuan untuk mengatasi kesenjangan digital, kesenjangan informasi dan meningkatkan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif dan            optimal.


Sasaran utama dalam upaya pengembangan SDM telematika yaitu sebagai berikut:
- Peningkatan kinerja layanan public yang memberikan akses yang luas terhadap peningkatan kecerdasan masyarakat, pengembangan demokrasi dan transparasi sebagai katalisator pembangaunan.

- Literasi masyarakat di bidang teknologi telematika yang terutama ditujukan kepada old generator dan today generation sebagai peningkatan, dikemukakan oleh Tapscott.


BAB III
PERANAN LAYANAN TELEMATIKA DALAM 
BIDANG PENDIDIKAN


3.1    Layanan Telematika Transportasi
Di Era abad 21 peranan Dunia teknologi mengalami kemajuan begitu cepat. Perkembangan teknologi informasi yang cepat juga di bidang telematika yang merupakan bagian dunia TI, Kalau kita membahas dunia TI cakupannya sangat luas, mari kita berpikir sejenak di sekitar kita yaitu di dunia pendidikan tentang pengaruh telematika di dunia pendidikan terutama di perguruan tinggi. Hampir semua perguruan tinggi baik negeri dan swasta memanfaatkan teknologi informasi hal ini memang sangat sinergi karena pendidikan mengimplementasikannya. Dengan adanya teknologi informasi terutama telematika sangat membantu proses kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi.
Telematika singkatan dari Telekomunikasi dan Informatika. Telematika ini sangat berkembang pesat dan sangat bermanfaat dalam pengolahan informasi di segala bidang kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan ini peran telematika sangat lah berpengaruh besar dalam membantu dunia pendidikan, seperti membuat program pembelajaran secara virtual, membuat buku-buku virtual sehingga lebih praktis untuk dipelajari dan dibawa kemana-mana dan membua pembelajaran lebih menarik.
Perkembangan yang sangat pesat dalam telematika maka munculah berbagai jargon yang berwalan e, mulai dari e-book,e-learning, e-library dan sebagainya. e itu berarti electronic. yang berarti penggunaan teknologi informatika. Membuat pembelajaran lebih Real time, lebih praktis dan lebih murah. Cukup dengan adanya jaringan Internet.


3.2    User Layanan Telematika Pendidikan

3.2.1. e-Book
e-book atau buku elektronik merupakan berupa buku yang dapat dibuka dengan elektronik melalui komputer. ebook ini biasanya berupa file yang isinya berupa informasi dari sebuah buku dalam bentuk yang ringkas. dengan ebook kita dapat belajar melalui komputer, kita juga dapat menyimpan ebook sebanyak-banyaknya tanpa harus membeli buku.

3.2.2 e-Learning
e-learning  singkatan dari elektronik learning merupakan cara baru media pembelajaran secara komputerisasi khususnya internet dalam pembelajarannya. e-learning ini tidak selalu menggunakan internet tapi juga ada pembelajaran meltimedia secara ofline. Banyak software e-learning saat ini.

3.2.3 e-Library
e-library singkatan dari electronic library merupakan perpustakaan yang sebagian besar bentuk bukunya adalah dalam bentuk format digital dan hanya dapat di akses melalui komputer. perpustakaan tidak seperti perpustakaan pada aslinya tetapi dalan virtual perpustakaan ini menyimpan semua e-book dan kita dapat mengunduhnya secara gratis.


3.3  Menurut Miarso (2004) terdapat sejumlah pilihan alternatif pemanfaatan di bidang pendidikan.

a.      Perpustakaan Elektronik

Perpustakaan yang biasanya arsip-arsip buku dengan di Bantu dengan teknologi informasi dan internet dapat dengan mudah mengubah konsep perpustakaan yang pasif menjadi agresif dalam berinteraksi dengan penggunanya. Homepage dari The Library of Congress merupakan salah satu perpustakaan yang terbesar di dunia. Saat ini sebagian informasi yang ada di perpustakaan itu dapat di akses melalui internet.


b.      Surat Elektronik (email).
Dengan aplikasi sederhana seperti email maka seorang dosen, pengelola, orang tua dan mahasiswa dapat dengan mudah berhubungan. Dalam kegiatan di luar kampus mahasiswa yang menghadapi kesulitan dapat bertanya lewat email.
 
c.       Ensiklopedia.
Sebagian perusahan yang menjajakan ensiklopedia saat ini telah mulai bereksperimen menggunakan CD ROM untuk menampung ensiklopedia sehingga diharapkan ensiklopedia di masa mendatang tidak hanya berisi tulisan dan gambar saja, tapi juga video, audio, tulisan dan gambar, dan bahkan gerakan. Dan data informasi yang terkandung dalam ensklopedia juga telah mulai tersedia di internet. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka data dan informasi yang terkandung dalam ensiklopedi elektronik dapat diperbaharui.


d.      Sistem Distribusi Bahan Secara Elektronis ( digital ).
Dengan adanya sistem ini maka keterlambatan serta kekurangan bahan belajar bagi warga belajar yang tinggal di daerah terpencil dapat teratasi. Bagi para guru SD yang mengikuti penyetaraan D2, sarana untuk mengakses program ini tdk menjadi masalah karena mereka dapat menggunakan fasilitas yang dimiliki kantor pos yang menyediakan jasa internet.


e.        Tele-edukasi dan Latihan Jarak Jauh dalam Cyber System
Pendidikan dan pelatihan jarak jauh diperlukan untuk memudahkan akses serta pertukaran data, pengalaman dan sumber daya dalam rangka peningkatan mutu dan keterampilan professional dari SDM di Indonesia. Pada gilirannya jaringan ini diharapkan dapat menjangkau serta dapat memobilisasikan potensi masyarakat yang lain, termasuk dalam usaha, dalam rangka pembangunan serta kelangsungan kehidupan ekonomi di Indonesia, baik yang bersifat pendidikan formal maupun nonformal dalam suatu “cyber system”.


f.       Pengelolaan Sistem Informasi
Ilmu pengetahuan tersimpan dalam berbagai bentuk dokumen yang sebagian besar tercetak dalam bentuk buku, makalah atau laporan informasi semacam ini kecuali sukar untuk diakses, juga memerlukan tempat penyimpanan yang luas. Beberapa informasi telah disimpan dalam bentuk disket atau CD ROM, namun perlu dikembangkan lebih lanjut sistem agar informasi itu mudah dikomunikasikan. Mirip halnya dengan perpustakaan elektronik, informasi ini sifatnya lebih dinamik (karena memuat hal-hal yang mutakhir) dapat dikelola dalam suatu sistem.


g.      Video Teleconference
Keberadaan teknologi ini memungkinkan siswa atau mahasiswa dari seluruh dunia untuk dapat berkenalan, saling mengenal bangsa di dunia. Teknologi ini dapat digunakan sebagai sarana diskusi, simulasi dan dapat digunakan untuk bermain peran pada kegiatan pembelajaran yang berfungsi menumbuhkan kepercayaan diri dan kerjasama yang bersifat sosial.


3.4 Manfaat Telematika
·         Manfaat internet dalam e Business secara nyata dapat menekan biaya transaksi daam berbisnis dan  memberikan kemudahan dalam diversifikasi kebutuhan.
·         Manfaat internet dalam e Goverment bisa meningkatkan kinerja pemerintah dalam menyediakan informasi dan layanan untuk masyarakat.
·         Dalam bidang kesehatan dan juga pendidikan secara nyata juga telah memberikan nilah tambah bagi masyarakat luas.
·         Telematika cukup memberi warna tersendiri dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi Internet, maka Indonesia tak ketinggalan dalam booming perdagangan elektronis / electronic commerce (e-commerce).
·         Pembangunan sektor Telematika diyakini akan memengaruhi perkembangan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang konsisten menyatakan bahwa dengan asumsi semua persyaratan terpenuhi, penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara-negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya.

3.5 Dampak Negatif Telematika
·         Tindakan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan media internet. Contohnya, tindakan yang disebut carding, adalah cyber crime dengan cara mencuri data kartu kredit dari nasabah suatu bank, sehingga si pelaku carding (carder) dapat menggunakan data tersebut untuk keuntungan pribadi.
·         Penyebaran virus atau malicious ware fraud atau penipuan yang menggunakan electronic mail sebagai alat penyebaran informasi bagi si penipu.
·         Kejahatan Telematika sebagai Kejahatan Transnasional, Contoh kejahatan transnasional ini adalah human trafficking, penyelundupan orang, narkotika, atau teroris internasional.
·         Kejahatan telematika merugikan individu,missal Lima orang hacker (penyusup) yang berada di Moskow telah mencuri sekitar 5400 data kartu kredit milik orang Rusia dan orang asing yang didapat dengan menyusup pada sistem komputer beberapa internet retailer.
·         Kejahatan telematika merugikan perusahaan atau organisasi, Pada tahun 1995, Julio Cesar Ardita, seorang mahasiswa dari Argentina berhasil menyusup dan mengganti (cracking) data sistem yang ada di Fakultas Arts and Science Universitas Harvard.

BAB IV
KESIMPULAN
Dari hari kehari perkembangan telematika dalam bidang pendidikan semakin maju, hal ini disebabkan semakin beraneka ragamnya kebutuhan akan telematika itu sendiri. Semakin banyaknya aplikasi yang bermuculan untuk membuat aplikasi berbasis telematika ini dan juga beraneka ragam kebutuhan informasi pendidikan akan memudahkan bagi pengguna telematika dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan adanya perkembangan telematika di bidang pendidikan salah satucontohnya e-learning sangat memberikan banyak manfaat bagi pengguna salah satunya membuat pengguna menghemat waktu, tenaga, biaya dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
http://maulanagilbert.blogspot.com/2013/10/peranan-layanan-telematika-dalam-bidang.html



Jumat, 17 Januari 2014

TEKNOLOGI YANG TERKAIT ANTARMUKA TELEMATIKA

Diposting oleh Unknown di 23.53 0 komentar
PENDAHULUAN

Sebuah komputer saat ini ibarat sebuah pena dan kertas dalam kehidupan sehari-hari (Talwar dkk, 2009). Kemudahan yang diberikan oleh komputer membuat masyarakat menjadikan komputer sebagai kebutuhan pokok terutama di perkatoran. Hal ini disebabkan karena keberadaan komputer memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas, produktifitas dan efisiensi dalam pekerjaan. Hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 75% pekerjaan kantor memerlukan komputer (Blehm dkk, 2005). Pada tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 28 juta penduduk yang menggunakan komputer, baik di perkantoran maupun di rumah (Uchino M.dkk, 2008). Pada tahun 1990 penggunaan internet dengan komputer pribadi di rumah mulai meningkat dan hal ini makin meningkatkan pula jumlah pengguna komputer di dunia. Setidaknya dari 15% pengguna internet dan komputer pribadi di rumah pada tahun 1990 meningkat menjadi 50% di tahun 2005 (Blehm dkk, 2005). American Optometrist Association (AOA) mendefinisikan Computer vision Syndrome (CVS) sebagai sekelompok gangguan okuler yang dikeluhkan oleh seseorang yang menggunakan komputer dalam waktu yang cukup lama. Berat-ringannya keluhan yang dilaporkan sebanding dengan banyaknya waktu yang digunakan di depan komputer. Seseorang yang menggunakan komputer lebih dari dua jam setiap harinya akan lebih mudah untuk menderita CVS (Affandi E, 2005; Bhanderi J, 2008) Mata sebenarnya tidak terlalu tepat untuk menatap layar monitor karena mata tidak dapat terlalu lama berusaha untuk memfokuskan pada titik-titik kecil atau pixel yang membentuk bayangan pada layar monitor (Pandey,2006). Seorang pengguna komputer harus terus-menerus berusaha memfokuskan matanya untuk menjaga ketajaman gambar yang dilihatnya pada layar monitor. Proses tersebut mengakibatkan timbulnya stress yang berulang-ulang pada otot mata. Hal tersebut semakin diperberat dengan berkurangnya frekuensi berkedip sehingga mata menjadi kering dan terasa perih. Akibatnya kemampuan mata untuk memfokuskan diri menjadi berkurang dan penglihatan akan menjadi kabur (Affandi E, 2005; Bhanderi J, 2008) Beberapa peneliti telah melaporkan hasil penelitiannya yang hubungan penggunaan komputer dengan CVS, diantaranya adalah Amalia H dkk yang melaporkan bahwa prevalensi astenopia pada mahasiswa ilmu komputer cukup tinggi dan penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan pengetahuan mahasiswa terhadap ergonomi penggunaan komputer yang baik menjadi faktor resikonya. (Husnun A dkk,2007) Suharyanto dan Sutarsih dalam penelitiannya menyebutkan terjadinya pemanjangan WPM pada operator telekomunikasi sesudah bekerja selama 2 jam, demikian juga dengan Basri yang menyatakan adanya pemanjangan WPM pada operator radar sesudah bekerja (Suharyanto F, Safari E, 2010). Dalam penelitian ini ingin diketahui kejadian computer vision syndrome pada pegawai PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk di Makassar dengan melakukan anamnesis keluhan subjektif dan pengisian kuisioner Mcmonnies untuk mengetahui keluhan astenopia, pengukuran visus serta melakukan pemeriksaan tes Schirmer dan BUT untuk mengetahui kondisi permukaan okuler dalam hal ini adalah Lapisan Air Mata sebelum dan sesudah bekerja menggunakan komputer.

METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan pada 150 orang pegawai BNI di Makassar selama periode Agustus - Oktober 2012 dengan metode pengambilan data purposive sampling. Kriteria inklusi adalah usia minimal 20 tahun,telah bekerja menggunakan komputer minimal 1 tahun dan bersedia untuk mengikuti prosedur penelitian. Dikeluarkan dalam penelitian apabila menderita kelainan permukaan okuler, glaukoma dan infeksi, menggunakan alat kontrasepsi hormonal, mempunyai riwayat operasi mata sebelumnya, merokok selama bekerja menggunakan komputer, menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sekresi air mata, seperti anti histamin, anti depresan, selective serotonin reuptake inhibitor, ansiolitik, anti psikotik, diuretik, penyekat beta, kemoterapi sistemik, dan anti kolinergik dalam 3 bulan terakhir, tidak kooperatif selama prosedur pemeriksaan. Dalam penelitian ini ingin diketahui kejadian computer vision syndrome pada pegawai PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk di Makassar dengan melakukan anamnesis keluhan subjektif dan pengisian kuisioner Mcmonnies untuk mengetahui keluhan astenopia, pengukuran visus serta melakukan pemeriksaan tes Schirmer dan BUT untuk mengetahui kondisi permukaan okuler dalam hal ini adalah lapisan air mata sebelum dan sesudah bekerja menggunakan komputer. Kuisioner berisi pertanyaan mengenai data sosiodemografik, lama bekerja menggunakan komputer selama 1 minggu, pengetahuan mengetahui CVS dan posisi ergoophthalmic, keluhan subjektif dan frekuensi keluhan tersebut. Pada kuisioner McMonnies terdapat 12 pertanyaan dengan nilai jawaban berkisar 0-6. Nilai total dari 12 pertanyaan pada setiap subjek dikategorikan normal jika < 10, marginal dry eye jika bernilai 10-20 dan pathological dry eye jika >20. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mata meliputi pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp portabel dan pemeriksaan lapisan air mata dengan tes Schirmer dan tes BUT. Astenopia adalah keluhan subjektif penglihatan akibat kelelahan organ-organ penglihatan yang disertai nyeri pada mata, nyeri kepala, penglihatan kabur dll dan diukur dengan menggunakan kuisioner dari Mcmonies. Tes Schirmer adalah suatu pemeriksaan untuk menilai kuantitas LAM (penilaian fungsi sekresi kelenjar lakrimal utama) dengan menggunakan kertas Whatmann nomor 41 selama 5 menit dan melihat jumlah pembasahan diukur dalam mm. Hasil penilaian normal bila pembasahan sepanjang >10 mm; Suspek dry eye bila pembasahan 6-10 mm; dan Dry eye bila pembasahan <6 mm. Pemeriksaan Tear Break-UpTime adalah suatu pemeriksaan untuk menilai stabilitas LAM dengan menghitung waktu antara kedipan sempurna hingga timbulnya dry spot pertama pada kornea. Hasil penilaian normal bila . 10 detik dan Dry eye bila < 10 detik. Pengambilan data dilakukan dua kali yakni sebelum dan sesudah bekerja menggunakan komputer.

HASIL PENELITIAN


Data yang diperoleh dianalisa melalui komputer dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 17. Tabel 1 memperlihatkan karakteristik subyek penelitian. Subyek yang diperoleh berusia 21.46 tahun dengan rerata 30,25 +6,49 tahun. Dari 150 subjek didapatkan 79 orang (52,7 % ) berjenis kelamin laki-laki dan 71 orang (47,3 % ) berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar subjek tidak memiliki pengetahuan mengenai Computer Vision Syndrome dan posisi ergoophthalmic saat menggunakan komputer. Subjek yang memiliki pengetahuan tersebut hanya 7 orang (4,7%). Pada subjek laki-laki diperoleh persentase perokok sebesar 43 orang (54,4%) sedangkan pada subjek perempuan diperoleh persentase pengguna kosmetik mata sebesar 61 orang (87%). Dari 150 subjek terdapat 25 orang (16,7%) yang menggunakan kacamata saat bekerja menggunakan komputer. Sebagian besar subjek penelitian menggunakan layar monitor jenis LCD yaitu sebanyak 122 orang (81,2 %) dan jenis CRT sebanyak 28 orang (18,8%). Intensitas penggunaan komputer pada subjek yang diperoleh dalam 1 minggu berkisar 10 . 50 jam dengan rerata 35,87 + 10,88 jam. Diperoleh data sebanyak 55 orang (36,7%) yang menggunakan komputer selama 1 jam, 47 orang (31,3%) selama 2 jam dan 3 jam sebanyak 48 orang (32,0%) Penelitian ini didapatkan astenopia terjadi pada 28,6% subjek sebelum bekerja menggunakan komputer dan meningkat menjadi 90,6% subjek sesudah menggunakan komputer. Hal ini terlihat pada tabel 2 yang menunjukkan peningkatan jumlah keluhan subjektif yang signifikan sesudah penggunaan komputer dibandingkan sebelum penggunaan (p=0,000), yaitu terjadi peningkatan dari rata-rata satu keluhan menjadi rata-rata 3 keluhan. Pada table tersebut juga terlihat adanya peningkatan nilai hasil tes Mcmonnies yang signifikan sesudah penggunaan komputer dibandingkan sebelum penggunaan (p=0,000) dimana nilai rerata kuisioner Mcmonnies sebelum menggunakan komputer adalah 9,29 + 3,82 dan sesudah menggunakan komputer menjadi 11,57 + 4,16. Berdasarkan hasil interpretasi kuisioner McMonnies terjadi perubahan derajat dry eye dimana sebelum menggunakan komputer adalah normal dan sesudah menggunakan komputer menjadi marginal dry eye. Tabel 2 juga menunjukkan penurunan visus sesudah menggunakan komputer. Visus sebelum menggunakan komputer memiliki rerata sebesar 0,87 + 0,18 sedangkan nilai rerata visus sesudah menggunakan komputer adalah 0,82 + 0,19. Nilai tersebut juga mengalami penurunan yang signifikan dan bermakna secara statistik (p=0,000). Penurunan hasil tes Schirmer yang signifikan sesudah penggunaan komputer dibandingkan sebelum penggunaan (p=0,000) juga diperlihatkan dalam tabel 2. Penurunan tes Schirmer sesudah penggunaan komputer terjadi pada\ 113 subyek (75,3%) sedangkan 37 subjek (24,7 %) tidak mengalami perubahan nilai tes Schirmer sesudah penggunaan komputer.Demikian halnya dengan hasil tes BUT yang juga terjadi penurunan yang signifikan sesudah penggunaan komputer dibandingkan sebelum penggunaan (p=0,000). Tes BUT sebelum menggunakan komputer memiliki rerata 9,39 + 2,77 detik dan sesudah menggunakan komputer memiliki rerata 7,38 + 1,99 detik. Penurunan hasil Tes BUT terjadi pada 107 subjek (71,3%) menunjukkan hubungan yang bermakna antara lama penggunaan computer dengan keluhan subjektif (p=0,001), dimana persentase keluhan meningkat sesuai dengan peningkatan lama penggunaan komputer. memperlihatkan hubungan yang bermakna antara lama penggunaan computer dengan penurunan visus (p=0,000), dimana persentase subjek yang visusnya menurun jumlahnya mengalami peningkatan sesuai dengan peningkatan lama penggunaan komputer. Sebanyak 81 subjek (54,0%) mengalami penurunan visus sesudah menggunakan komputer dengan 38 subjek diantaranya (79,2%) telah menggunakan komputer selama 3 jam. Sedangkan subjek yang tidak mengalami perubahan visus adalah sebesar 69 orang (46,0%) dengan 36 subjek (65,5%) diantaranya menggunakan komputer selama 1 jam. Tabel 5 memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama penggunaan komputer dengan hasil tes Schirmer (p=0,102) meskipun terlihat adanya kecenderungan persentase subyek dengan hasil tes yang menurun mengalami peningkatan jumlah sesuai dengan peningkatan lama penggunaan komputer. Namun dalam table tersebut\ ditunjukkan hubungan yang bermakna antara lama penggunaan komputer dengan hasil tes BUT (p=0,011) dimana persentase hasil tes BUT yang menurun ditemukan lebih tinggi pada lama penggunaan komputer 2 dan 3 jam.


PEMBAHASAN


Penelitian ini menunjukkan bahwa astenopia terjadi pada 28,6% subjek sebelum bekerja menggunakan komputer dan menjadi 90,6% subjek setelah bekerja menggunakan komputer. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan jumlah keluhan subjektif sesudah bekerja menggunakan komputer yang bermakna (p=0,000). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terjadi penurunan visus yang bermakna secara statistik sesudah bekerja menggunakan computer (p=0,000). Pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan kuantitas dan kualitas LAM untuk mengetahui derajat dry eye. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan tes Schirmer pada 113 orang (75,3%). Nilai rerata hasil pemeriksaan tes Schirmer pada subjek penelitian ini sebelum bekerja menggunakan komputer adalah 22,04 mm +8,95 menjadi 18,11 + 8,90. Nilai tersebut mengalami penurunan yang signifikan (p=0,000) meskipun secara interpretasi hasil tes Schirmer nilai rerata sebelum dan sesudah menggunakan komputer masih dalam batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena produksi akuos dari kelenjar lakrimal memang berfluktuatifsecara kuantitatif. Selain itu berdasarkan klasifikasi DEWS, dry eye yang terjadi pada saat menggunakan komputer maupun aktifitas dekat lainnya adalah dry eye evaporatif akibat berkurangnya frekuensi berkedip (Dogru M dkk, 2007). Penelitian ini juga memperlihatkan adanya penurunan nilai kuisioner McMonnies yang bermakna (p=0,000). Nilai rerata McMonnies pada subjek penelitian ini adalah 9,29 + 3.82 dan nilai rerata sesudah bekerja menggunakan komputer adalah 11,57 + 4,16. Data penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara lama penggunaan komputer dengan keluhan subjektif, visus dan hasil tes BUT. Namun dari data penelitian yang diperoleh tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara lama penggunaan komputer dengan hasil tes Schirmer meskipun terlihat kecenderungan peningkatan jumlah subjek yang mengalami penurunan hasil tes Schirmer. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Diantaranya yang dilakukan oleh Dinesh J.Bhanderi dkk(2008) yang melaporkan bahwa astenopia terjadi pada 46,3% subjek penelitiannya (Bhanderi dkk,2008). Mocci dkk dan Sanchez Roman dkk juga menemukan hal yang sama dalam penelitiannya (Mocci F dkk, 2001; Sanchez- Roman,1996). Mocci dkk melaporkan prevalensi astenopia sebanyak 31,9 % pada 385 pegawai bank yang menjadi subjek penelitiannya sedangkan Sanchez-Roman melaporkan prevalensi astenopia sebesar 68,5% terjadi pada subjek penelitiannya. Bergqvist dkk, Bhanderi dkk dan Nakaishi dkk juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa subjek dengan gangguan refraksi (termasuk yang sudah terkoreksi) akan lebih mudah untuk menderita astenopia.(Bhanderi dkk, 2008; Bergqvist, 1994; Nakaishi H, 1999) Astenopia pada pekerja yang menggunakan computer atau VDT dapat dinilai dari adanya keluhan subjektif berupa penglihatan buram, rasa nyeri pada mata, rasa berat pada mata dan penglihatan ganda. Keluhan lain adalah rasa kering pada mata, sering berkedip, sakit kepala, iritasi mata, dan lain-lain (Suharyanto F dkk, 2010). Dumery dkk melaporkan bahwa terjadi sedikit penurunan visus pada subjek penelitiannya (Dumery B, 2010) Serupa dengan hal tersebut penelitian ini menunjukkan pengukuran visus awal sebelum menggunakan komputer didapatkan rerata visus adalah 0,87 + 0,18 dan visus sesudah menggunakan komputer adalah 0,82 + 0,19. Hal serupa juga terjadi pada hasil pengukuran tes BUT, dimana rerata nilai BUT sebelum menggunakan komputer adalah 9,39 + 2,77 menjadi 7,38 + 1,99 sesudah menggunakan komputer. Penurunan nilai BUT terjadi pada 107 orang (71,3%) subjek. Nilai rerata BUT tersebut juga mengalami penurunan yang signifikan meskipun sebenarnya nilai rerata BUT sebelum maupun sesudah secara interpretasi BUT berada dibawah nilai normal. Hal ini mungkin disebabkan karena subjek pada penelitian ini telah intensif bekerja menggunakan komputer selama minimal 1 tahun dengan rata-rata penggunaan komputer penggunaan komputer sebanyak 35,87 + 10,78 jam dalam seminggu. Hal ini menunjukkan bahwa pada subjek penelitian telah terjadi gangguan pada kondisi stabilitas LAM sebelum bekerja yang mungkin disebabkan karena berkurangnya refleks berkedip saat bekerja menggunakan komputer yang telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Penelitian ini 9 juga menunjukkan adanya perubahan hasil tes Schirmer dan BUT yang berhubungan dengan lama penggunaan komputer. Terdapat dua aspek yang menentukan stabilitas LAM, yaitu: (1) komposisi LAM, yang terdiri atas lapisan lipid, akuos, dan musin; dan (2) hidrodinamik LAM, yang meliputi mekanisme menutup dan membukanya palpebra yang berhubungan dengan evaporasi dan penyebaran LAM pada saat berkedip (Syawal SR, 2005). Salah satu cara untuk mengetahui kondisi permukaan okuler adalah dengan menilai LAM dari segi kuantitas dan kualitas. Untuk menilai kuantitas LAM adalah dengan Tes Schirmer. Sedangkan untuk menilai stabilitas LAM dapat digunakan dengan penilaian Break-Up Time. Pada penderita dengan struktur LAM yang tidak stabil maka waktu break-up akan menjadi lebih singkat (Patel S., 2003). Dry eye pada pengguna komputer disebabkan oleh menurunnya frekuensi berkedip dan sebagai konsekuensinya akan terjadi peningkatan dari evaporasi lapisan airmata. Penelitian ini juga menggunakan kuisioner Mcmonnies untuk mengetahui ada tidaknya dry eye pada subjek penelitian Beberapa penelitian telah melaporkan lama penggunaan komputer yang lebih lama memiliki hubungan yang signifikan dengan tingginya prevalensi dry eye baik pada subjek lakilaki maupun perempuan. Diantaranya dilaporkan oleh Hanne dkk (1994) yang menemukan astenopia yang lebih berat pada pekerja yang menggunakan komputer lebih dari 6 jam sehari dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan komputer kurang dari 6 jam sehari (Hanne W dkk, 1994). Kanitkar dkk (2005) juga melaporkan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa lama penggunaan komputer berhubungan langsung dengan keluhan subjektif pada mata, dimana lama penggunaan komputer yang lebih panjang akan menyebabkan keluhan subjektif dirasakan lebih lama bahkan sesudah selesai bekerja (Kanitkar K dkk, 2005) Hal serupa juga dilaporkan oleh Bergqvist dkk (1994), Sanchez-Roman dkk (1996) juga Shima dkk (1993). Hal berbeda dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mocci dkk juga Bhanderi dkk yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara astenopia dengan lama penggunaan komputer dalam sehari maupun dalam seminggu. Penelitian yang dilakukan oleh Dumery dkk merekam frekuensi berkedip pada subjek penelitiannya sebelum dan sesudah menggunakan komputer dan melaporkan bahwa terjadi penurunan frekuensi berkedip hingga 50% dan penggunaan computer menginduksi terjadinya astenopia pada semua subjek (Dumery B, 2010). Lama penggunaan komputer pada subjek penelitian ini dibedakan atas 1 jam, 2 jam dan 3 jam. Hal ini dimaksudkan 10 untuk menilai hubungan antara lama penggunaan komputer dengan kejadian computer vision syndrome. Pada penelitan ini diperoleh 55 orang ( 36,7% ) menggunakan komputer selama 1 jam, 47 orang (31,3%) menggunakan komputer selama 2 jam dan 48 orang (32%) yang menggunakan komputer selama 3 jam. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama penggunaan komputer dengan penurunan visus (p=0,000). Keterbatasan penelitian ini adalah subjek penelitian yang terbatas pada pengguna komputer yang bekerja di BNI serta tidak dilakukan analisis terhadap posisi ergoophthalmic serta riwayat bekerja intensif menggunakan komputer dimana faktor tersebut mungkin mempunyai peranan dalam kejadian computer vision syndrome pada pengguna komputer.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kami menyimpulkan bahwa astenopia menjadi lebih berat yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya keluhan subjektif sesudah bekerja menggunakan komputer yang bermakna secara statistik, terdapat penurunan visus yang bermakna sesudah bekerja menggunakan komputer, gangguan pada kondisi permukaan okuler menjadi lebih berat dimana hasil tes Schirmer menjadi lebih pendek dan hasil tes BUT menjadi lebih singkat sesudah bekerja menggunakan komputer, terjadi peningkatan derajat dry eye berdasarkan hasil kuisioner McMonnies yang bermakna sesudah bekerja menggunakan komputer , dan terdapat hubungan yang signifikan antara lama penggunaan komputer dengan Computer Vision Syndrome dalam hal keluhan (astenopia), derajat dry eye berdasarkan hasil kuisioner McMonnies, visus dan tes BUT namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama penggunaan komputer dengan hasil tes Schirmer meskipun terlihat ada kecenderungan peningkatan jumlah subjek yang mengalami pemendekan hasil tes Schirmer. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada subjek penelitian yang sama untuk melihat apakah perubahan yang terjadi bersifat sementara atau menetap.


DAFTAR PUSTAKA

Affandi E,(2005), Sindrom Penglihatan Komputer, Majalah Kedokteran Indonesia, Maret 55
(3); 297-300
Amalia H,Suardana G, Artini W, (2007), Etiologi dan Faktor Risiko Astenopia pada Mahasiswa
Ilmu Komputer, Ophthalmologica Indonesiana, Vol 34, No. I, Jan - April 1.
Bergqvist UO, (1994), Knave BG. Eye Discomfort and work with visual display terminals. Scand
J Work Environ Health, 20:27-33
Bhanderi J, Choudary S, Doshi V, (2008), A Community-based stuy of asthenopia in computer
operators, Indian J of Ophthalamology, Januari.Februari: 56 (1); 51-5
Blehm C, Vishnu S, Khattak A, et al, (2005), Computer Vision Syndrome: A Review, Survey of
ophthalmology, June, 50 (3); 253-62
Dogru M ,Lemp M, Baudoin C . (2007), Definition and Classification of Dry Eye in Dry Eye
Workshop (DEWS ) Committee. Report of the International Dry Eye Workshop
(DEWS). Ocul Surf.;5:65-204
Dumery B, (2010), Eyestrain, Blink Rate and Dry Eye Syndromes of Video Display Terminal
Users available www.hcmiu.edu./BMM 2010/papers/p7.09.pdf
Hanne W, Brewitt H, Augenklinik rechts DI, Munchen TU, (1994), Changes in visual function
caused by work at a data display terminal. Ophthalmologe, 91:107-12
Kanitkar K, Carlson AN, Richard Y, (2005),Ocular problems associated with computer use: The
ever-increasing hours spent in front of video display terminals have led to a
corresponding increase in visual and physical ills, Review of Ophthalmology ENewsletter,
12:04
Mocci F, Serra A, Corrias GA, (2001), Phychological factors and visual fatigue in working with
video display terminals, Occup Environ Med., 58:267-71
Nakaishi H,Yamada Y, (1999), Abnormal tear dynamics and symptoms of eyestrain in of visual
display terminal, Occup Environ Med, 56:6-9
Pandey S, Swamy B, (2006), Computer Vision Syndrome, Dry Eye and Ocular Surface
Disorders, Jaypee Brothers Medical Pub, 303-311
Patel S, Blades KJ. (2003), Stability of the Tear Film. The Dry Eye - A practical Approach.
Edinburgh: Butterworth-Heinemann; 27-36
Sanchez -Roman FR, Perez Lucio C, Juarez-Ruiz C, Velez-ZamoraNM, Jimenez-Villaruel M,
(1996), Risk factors for asthenopia among computer terminal operators, Salud Publica
Mex, 38:186-96
Shima M, Nitta Y, Iwasaki A, Adachi M, (1993), Investigation of subjective symptoms among
visual display terminal users and their affecting factors-analysis using log-linear models.
Nippon Eiseigaku Zasshi, 47:1032-40
Suharyanto F, Safari E, (2010), Asthenopia pada pekerja wanita di Call Centre-X, Bul. Penelit.
Kesehat, Vol. 38, No.3, 119 . 130
Syawal SR. (2005), Suatu Cakrawala Baru Mengenai Patogenesis dari Penanganan Sindrom
gDry Eyeh. Jurnal Medika Nusantara Suplement. 26: 84-7.
Talwar R, Kapoor R, Puri K et al, (2009), A Study of Visual and Musculoskeletal Health
Disorders among Komputer Professionals inNCR Delhi, Indian J Community Med,
October 34(4): 326-8
Uchino M, Schaumberg D, Dogru M et al, (2008), Prevalence of Dry Eye Disease among
Japanese Visual Display Terminal Users, Ophthalmology, November 115(11); 1982-8

Sumber :
http://totslatos.blogspot.com/2013/11/tugas-teknologi-yang-terkait-antar-muka.html

 

*Tya Lolita Vertika* Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos