Selasa, 03 April 2012

Diposting oleh Unknown di 09.25

Pada era informasi saat ini peran dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi semakin strategis dan mulai menguasai kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun organisasi. Pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi berlangsung cepat.
Penggunaan teknologi informasi dalam suatu sistem elektronik adalah penggunaan sistem komputer secara luas. Sistem ini adalah suatu sistem yang terpadu antara manusia dan mesin yang mencakup perangkat keras, perangkat lunak, prosedur standar, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang mencakup fungsi input, proses, output dan penyimpanan.
Pengelolaan data pertanahan dengan menggunakan teknologi informasi merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan hal ini berkaitan dengan karakteristik data pertanahan itu sendiri yang bersifat multidimensi yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan dan sosial budaya.
Pengelolaan data pertanahan itu sendiri harus terintegrasi suatu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional yang mengalirkan informasi antar seluruh unit organisasi baik di tingkat Kantor Pusat, Kantor Wilayah, dan Kantor Pertanahan. Disamping sifat data pertanahan tersebut, juga pengelolaan pertanahan secara elektronik ini untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin meningkat yang terkait dengan keterbukaan informasi untuk masyarakat.
Pada hari Sabtu, 10 Maret 2007 dengan mengambil tempat di gedung Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Jl. Cendana 15 Yogyakarta, diselenggarakan seminar sehari tentang Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Seminar ini diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan Dewan Kebudayaan Propinsi DIY. Seminar itu sendiri dilakukan dalam rangka inventarisasi tatanilai budaya Jawa untuk menentukan kebijakan kebudayaan di wilayah Propivinsi DIY yang akan menjadi bahan atau materi dalam Penyusunan Materi Draft Tata Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Demikian seperti yang dikatakan oleh Ketua Pelaksana seminar, Prof. Dr. Djoko Surjo. Seminar diikuti oleh sekitar 50-an peserta. Ada pun peserta seminar di antaranya terdiri dari anggota DPRD DIY, Dewan Kebudayaan DIY, dewan-dewan kebudayaan kabupaten, wakil perguruan tinggi, pemuka agama, sastrawan, budayawan, pemuka masyarakat, dan lain-lain. Sasaran dari penyelenggaraan seminar adalah untuk memperoleh masukan materi tata nilai budaya Jawa untuk meningkatkan strategi pembangunan khususnya di bidang kebudayaan.
Seminar yang jadwalnya akan dimulai pada pukul 08.00-14.30 WIB tersebut akhirnya molor. Acara baru dapat dimulai pada pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 14.45 WIB. Seminar menampilkan 3 orang narasumber dan 3 orang pembahas. Ketiga narasumber tersebut adalah Ir. Setyoso Hardjowisastro (Kepala Bapeda Provinsi DIY), Ir. Yuwono Sri Suwito, M.M. (Ketua Dewan Kebudayaan Provinsi DIY), KH. Abdul Muhaimin (Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman). Sedangkan tiga orang pembahas masing-masing adalah Dr. Heddy Sri Ahimsa Putra, M.A. (dosen FIB UGM), Prof. Dr. Marsono, S.U. (dosen FIB UGM), Dr. Sangidu (dosen FIB UGM).
Pada sesi pertama pada intinya dikatakan bahwa Yogyakarta memiliki 3 pilar utama sebagai kekuatan budayanya. Ketiga pilar utama itu adalah sebagai kota budaya, kota pariwisata, dan kota pendidikan. Sekalipun demikian, kota Yogyakarta tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi yang masuk melalui berbagai kemajuan di berbagai sektor, terutama sektor Telekomunikasi, Transportasi, Teknologi, dan Turisme. Melalui keempat sektor utama itulah pengaruh-mempengaruhi kebudayaan antar bangsa, suku, dan sebagainya terjadi. Dalam persoalan ini yang perlu dilakukan adalah melakukan manajemen yang baik sehingga dengan demikian nilai-nilai budaya Jawa yang baik, yang berguna, yang dapat meningkatkan taraf hidup, dan jati diri warga Yogyakarta dapat terus dipelihara sedangkan yang tidak lagi relevan, tidak lagi memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan kehidupan dapat ditinggalkan. Hal-hal yang tidak memberikan kemajuan itu di antaranya adalah jam karet atau tidak tepat waktu yang masih saja terus terjadi di lingkungan kebudayaan Jawa.
Pada sesi pertama ini pembahas mengemukakan bahwa konsepsi Kontjaraningrat mengenai 7 unsur kebudayaan itu tidak lagi relevan. Ada ketumpangtindihan di sana yang justru menyulitkan penguraian konsep-konsep lain. Contohnya adalah penggologan atau pemilahan yang disebut sebagai sistem teknologi. Sistem teknologi ternyata ada juga di dalam penggolongan lain misalnya sistem mata pencaharian, sistem kesenian, dan sebagainya. Sistem pengetahuan pun ada di dalam penggolongan lain misalnya di dalam sistem religi, kesenian, dan seterusnya. Tampaknya penggolongan yang dilakukan oleh Kontjaraningrat perlu ditambah. Paling tidak untuk saat ini perlu ditambahkan Sistem Kesehatan dan Sistem Komunikasi.
Pada sesi ini juga dikemukakan bahwa sistem pelestarian budaya yang dilakukan di negara kita, khususnya di Yogyakarta belumlah memadai. Bahkan dikatakan belum ada museum yang representatif di Yogyakarta. Museum mestinya harus mampu menjadi tempat pelestarian, riset, dan rekreasi sekaligus. Museum juga harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang kehidupan masa lalu melalui benda yang dipajangnya. Kebanyakan museum di negara kita masih memiliki sifat sebagai gudang barang.
Pelestarian dan ketahanan budaya yang berkaitan dengan perilaku atau tangible merupakan sesuatu yang tidak mudah. Untuk pelestariannya perlu dilakukan perekaman secara audio visual. Tanpa itu tidak mungkin dapat terwujud. Publikasi untuk ini pun perlu dilakukan misalnya dengan membuat website yang representatif mengenai kebudayaan. Dunia perfilman pun perlu bangkit untuk membuat film-film yang mencerminkan kepribadian bangsa melalui keunikan-keunikan etnis. Dengan demikian film atau sinetron yang dibuat benar-benar kontekstual.
Implementasi nilai-nilai budaya Jawa pun bukan merupakan sesuatu yang mudah. Perlu contoh konkret dari para pimpinan di semua sektor. Tanpa contoh dari pimpinan, maka orang atau masyarakat yang ada di bawahnya akan merasa enggan untuk membiasakan diri melaksanakan nilai-nilai tersebut. Jika hal itu tidak dapat terlaksana, maka nilai-nilai budaya Jawa itu akan terus mengabur, menghilang. Untuk perlu identifikasi, penjelasan mengenai konsep-konsep kebudayaan itu sehingga bernilai operasional. Perlu juga dilakukan tindakan yang dapat ikut menggerakkan seluruh komponen masyarakat pada pembangunan kebudayaan yang dimaksud. Sebab tanpa peran masyarakat tujuan itu akan gagal.
Pada sesi kedua disebutkan bahwa pembangunan di Indonesia ini tidak akan berhasil baik jika tanpa mengikutsertakan peran agama. Namun agama di sini yang dimaksudkan adalah agama yang substansial.
Aspek kebudayaan di Yogyakarta setidaknya ada 3 rumusan pokok yaitu spiritualitas, pandangan hidup, dan etika. Spiritualitas yang dimaksudkan bukan spiritualitas yang bersifat entertaintment namun harus yang intuitif. Spiritualitas yang menyemangati hidup manusia Jawa sekarang ini menurut pembicara kedua sudah banyak tererosi karena semua dinilai dengan uang atau materi. Sejalan dengan itu sikap prasaja manusia Jawa juga berubah. Perubahan ini terjadi juga akibat pemelesetan-pemelesetan adagium yang ada dalam masyarakat Jawa oleh karena pengaruh berbagai nilai kehidupan lain. Adagium rila, narima ing pandum, alon-alon waton kelakon, gremat-gremet waton slamet, dan seterusnya yang menjadi pedoman hidup keseharian dimaknai secara harfiah sebagai kelambanan, kemalasan, klelar-kleler, dan sebagainya. Seharusnya adagium itu dihayati dengan rasa.
Dalam kacamata demokrasi kaum muda hirarki normatif Jawa dipandang sebagai sikap feodal yang menghambat demokratisasi dan bertentangan dengan prinsip persamaan/egalitarian yang menjadi pilar utama demokrasi. Perbedaan cara pandang yang diametral ini diakibatkan oleh perbenturan tata nilai lama dengan unsur-unsur budaya baru yang secara substansial berbeda titik berangkatnya, yakni pola pikir Jawa yang normatif karena kuatnya prinsip menjaga harmoni berhadapan dengan budaya baru yang lebih berorientasi pada pencapaian hasil secara kuantitatif.
Etika Jawa yang semula sangat humanis mengalahkan kepentingan materi, ambisi pribadi, dan gejolak hawa nafsu yang semuanya itu terabadikan dalam berbagai petuah dan pepatah serta tergambarkan dalam tokoh-tokoh pewayangan, telah tergantikan oleh perilaku budaya yang sangat konsumtif, hedonis, dan materialistik. Berkaitan dengan kondisi seperti itu perlu dilakukan langkah strategis untuk memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa, yakni: dengan sosialisasi (melalui pendidikan, kelompok budaya, desa budaya, kelompok masyarakat/organisasi, dan sebagainya); kajian/penelitian dan pengembangan (historis, filosofis, implementatif); regulasi/hukum (perlindungan terhadap situs budaya, kreasi budaya, perangkat budaya), pengaturan/seleksi tempat hiburan; publikasi.
Pada sesi kedua dinyatakan bahwa tata ruang Keraton Kasultanan Yogyakarta tidak ada duanya di dunia. Semuanya itu tidak lepas dari karya cipta Sultan Hamengku Buwana I. Semua tata ruang yang diciptakan untuk keratonnya itu sarat dengan makna yang semuanya bisa dijelaskan dan kemudian menjadi rambu-rambu bagi perilaku kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Sesi ini juga menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki karakteristik budaya Jawa, di antaranya adalah religius ber Tuhan; mempunyai toleransi keagamaan yang besar; sangat menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial; lebih suka memecahkan persoalan dengan sikap mawas diri atau tepa selira; bersifat akomodatif (momot).
Pada sisi lain karena budaya Jawa dianggap sebagai sesuatu yang penting, berharga, dan diprioritaskan sehingga sebagian warga masyarakat Jawa terlalu membanggakan tanpa reserve. Sikap demikian itu membuat mereka tidak lagi kritis dan tidak lagi bisa melihat adanya nilai-nilai negatif yang ada di dalam budaya Jawa yang mungkin tidak lagi berguna. Oleh karenanya perlu dikemukakan beberapa langkah atau skenario dalam mengaplikasikan budaya Jawa-Yogyakarta yang bernilai positif dalam membangun manusia sebagai sistem sosial.
Langkah itu di antaranya dengan memasyarakatkan ungkapan-ungkapan yang dapat dimanifestasikan ke perilaku seperti memasyarakatkan ungkapan Hamemayu Hayuning Bawana yang dapat diperinci sebagai Rahayuning Bawana Kapurba Wasesaning Manungsa 'kelestarian dunia lebih dipengaruhi oleh kebijaksanaan manusia'. Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara 'darma bakti kesatria mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan negara'. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane 'keselamatan dan kesejahteraan manusia terwujud karena perikemanusiannya'. Ungkapan lainnya adalah Asih ing Sesami 'mencintai sesama' yang sepi ing pamrih rame ing gawe; falsafah Golong Gilig (menyatunya pemimpin-kawula, Tuhan dan umat-Nya); falsafah Sawiji (orang harus selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa), Greget (seluruh aktivitas dan gairah/semangat hidup harus disalurkan melalui jalan Tuhan Yang Maha Esa), Sengguh (bangga diciptakan sebagai makhluk sempurna naun tidak boleh sombong), Ora Mingkuh (meskipun banyak mengalami banyak kesukaran dan hambatan dalam hidup, namun tetap dijalani dengan penuh tanggung jawab, dilandasi selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil, Penyayang, dan Pengasih).
Membicarakan budaya Jawa-Yogyakarta tentu tidak bisa lepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan yang sarat dengan nilai filosofi. Pemahaman, penghayatan, dan pengamalan dasar falasafah budaya asli Yogyakarta seperti Hamemayu Hayuning Bawono, Golong Gilig, Sewiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh, Hamengku,  Hamangku, dan Hamengkoni di dalam aplikasinya diperlukan payung hukum yang harus disosialisasikan sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah di DIY. Perlu melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang masih relevan sebagai faktor pemersatu dan pendorong pembangunan di DIY dalam segala bidang. Perlu dilakukan reinventarisasi, reinterpretasi, revitalisasi, dan pemberian ruh baru terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang baik tetapi sudah tidak lagi relevan dengan zamannya. Yogyakarta dengan keunggulan aset budayanya sebagai factor endowments sangat potensial dikembangkan dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku pariwisata sehingga keuntungan yang diperoleh tidak hanya dari sisi ekonomi namun juga keuntungan di bidang budaya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

*Tya Lolita Vertika* Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos