Pada era informasi saat ini peran dan manfaat teknologi
informasi dan komunikasi semakin strategis dan mulai menguasai kehidupan
masyarakat, baik secara individu maupun organisasi. Pertumbuhan teknologi
informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa
batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi berlangsung cepat.
Penggunaan teknologi informasi dalam suatu sistem
elektronik adalah penggunaan sistem komputer secara luas. Sistem ini adalah
suatu sistem yang terpadu antara manusia dan mesin yang mencakup perangkat
keras, perangkat lunak, prosedur standar, sumber daya manusia, dan substansi
informasi yang mencakup fungsi input, proses, output dan penyimpanan.
Pengelolaan data pertanahan dengan menggunakan
teknologi informasi merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan hal ini
berkaitan dengan karakteristik data pertanahan itu sendiri yang bersifat
multidimensi yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, pertahanan dan
keamanan dan sosial budaya.
Pengelolaan data pertanahan itu sendiri harus
terintegrasi suatu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional yang
mengalirkan informasi antar seluruh unit organisasi baik di tingkat Kantor
Pusat, Kantor Wilayah, dan Kantor Pertanahan. Disamping sifat data pertanahan
tersebut, juga pengelolaan pertanahan secara elektronik ini untuk memenuhi
tuntutan masyarakat yang semakin meningkat yang terkait dengan keterbukaan
informasi untuk masyarakat.
Pada hari Sabtu, 10 Maret 2007 dengan
mengambil tempat di gedung Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian (BPPTK), Jl. Cendana 15 Yogyakarta, diselenggarakan seminar
sehari tentang Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Seminar ini diselengarakan oleh
Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan Dewan Kebudayaan Propinsi DIY. Seminar itu
sendiri dilakukan dalam rangka inventarisasi tatanilai budaya Jawa untuk
menentukan kebijakan kebudayaan di wilayah Propivinsi DIY yang akan menjadi
bahan atau materi dalam Penyusunan Materi Draft Tata Nilai Budaya Jawa di
Yogyakarta. Demikian seperti yang dikatakan oleh Ketua Pelaksana seminar, Prof.
Dr. Djoko Surjo. Seminar diikuti oleh sekitar 50-an peserta. Ada pun peserta
seminar di antaranya terdiri dari anggota DPRD DIY, Dewan Kebudayaan DIY,
dewan-dewan kebudayaan kabupaten, wakil perguruan tinggi, pemuka agama,
sastrawan, budayawan, pemuka masyarakat, dan lain-lain. Sasaran dari
penyelenggaraan seminar adalah untuk memperoleh masukan materi tata nilai
budaya Jawa untuk meningkatkan strategi pembangunan khususnya di bidang
kebudayaan.
Seminar yang jadwalnya akan dimulai pada
pukul 08.00-14.30 WIB tersebut akhirnya molor. Acara baru dapat dimulai pada
pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 14.45 WIB. Seminar menampilkan 3 orang
narasumber dan 3 orang pembahas. Ketiga narasumber tersebut adalah Ir. Setyoso
Hardjowisastro (Kepala Bapeda Provinsi DIY), Ir. Yuwono Sri Suwito, M.M. (Ketua
Dewan Kebudayaan Provinsi DIY), KH. Abdul Muhaimin (Ketua Forum Persaudaraan
Umat Beriman). Sedangkan tiga orang pembahas masing-masing adalah Dr. Heddy Sri
Ahimsa Putra, M.A. (dosen FIB UGM), Prof. Dr. Marsono, S.U. (dosen FIB UGM),
Dr. Sangidu (dosen FIB UGM).
Pada sesi pertama pada intinya dikatakan
bahwa Yogyakarta memiliki 3 pilar utama sebagai kekuatan budayanya. Ketiga
pilar utama itu adalah sebagai kota budaya, kota pariwisata, dan kota
pendidikan. Sekalipun demikian, kota Yogyakarta tidak mungkin lepas dari
pengaruh globalisasi yang masuk melalui berbagai kemajuan di berbagai sektor,
terutama sektor Telekomunikasi, Transportasi, Teknologi, dan Turisme. Melalui
keempat sektor utama itulah pengaruh-mempengaruhi kebudayaan antar bangsa,
suku, dan sebagainya terjadi. Dalam persoalan ini yang perlu dilakukan adalah
melakukan manajemen yang baik sehingga dengan demikian nilai-nilai budaya Jawa
yang baik, yang berguna, yang dapat meningkatkan taraf hidup, dan jati diri
warga Yogyakarta dapat terus dipelihara sedangkan yang tidak lagi relevan,
tidak lagi memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan kehidupan dapat
ditinggalkan. Hal-hal yang tidak memberikan kemajuan itu di antaranya adalah
jam karet atau tidak tepat waktu yang masih saja terus terjadi di lingkungan
kebudayaan Jawa.
Pada sesi pertama ini pembahas mengemukakan
bahwa konsepsi Kontjaraningrat mengenai 7 unsur kebudayaan itu tidak lagi
relevan. Ada ketumpangtindihan di sana yang justru menyulitkan penguraian
konsep-konsep lain. Contohnya adalah penggologan atau pemilahan yang disebut
sebagai sistem teknologi. Sistem teknologi ternyata ada juga di dalam
penggolongan lain misalnya sistem mata pencaharian, sistem kesenian, dan
sebagainya. Sistem pengetahuan pun ada di dalam penggolongan lain misalnya di
dalam sistem religi, kesenian, dan seterusnya. Tampaknya penggolongan yang
dilakukan oleh Kontjaraningrat perlu ditambah. Paling tidak untuk saat ini
perlu ditambahkan Sistem Kesehatan dan Sistem Komunikasi.
Pada sesi ini juga dikemukakan bahwa sistem
pelestarian budaya yang dilakukan di negara kita, khususnya di Yogyakarta
belumlah memadai. Bahkan dikatakan belum ada museum yang representatif di
Yogyakarta. Museum mestinya harus mampu menjadi tempat pelestarian, riset, dan
rekreasi sekaligus. Museum juga harus mampu memberikan gambaran yang jelas
tentang kehidupan masa lalu melalui benda yang dipajangnya. Kebanyakan museum
di negara kita masih memiliki sifat sebagai gudang barang.
Pelestarian dan ketahanan budaya yang
berkaitan dengan perilaku atau tangible merupakan sesuatu yang tidak mudah.
Untuk pelestariannya perlu dilakukan perekaman secara audio visual. Tanpa itu
tidak mungkin dapat terwujud. Publikasi untuk ini pun perlu dilakukan misalnya
dengan membuat website yang representatif mengenai kebudayaan. Dunia perfilman
pun perlu bangkit untuk membuat film-film yang mencerminkan kepribadian bangsa
melalui keunikan-keunikan etnis. Dengan demikian film atau sinetron yang dibuat
benar-benar kontekstual.
Implementasi nilai-nilai budaya Jawa pun
bukan merupakan sesuatu yang mudah. Perlu contoh konkret dari para pimpinan di
semua sektor. Tanpa contoh dari pimpinan, maka orang atau masyarakat yang ada
di bawahnya akan merasa enggan untuk membiasakan diri melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Jika hal itu tidak dapat terlaksana, maka nilai-nilai budaya Jawa itu
akan terus mengabur, menghilang. Untuk perlu identifikasi, penjelasan mengenai
konsep-konsep kebudayaan itu sehingga bernilai operasional. Perlu juga
dilakukan tindakan yang dapat ikut menggerakkan seluruh komponen masyarakat
pada pembangunan kebudayaan yang dimaksud. Sebab tanpa peran masyarakat tujuan
itu akan gagal.
Pada sesi kedua disebutkan bahwa
pembangunan di Indonesia ini tidak akan berhasil baik jika tanpa
mengikutsertakan peran agama. Namun agama di sini yang dimaksudkan adalah agama
yang substansial.
Aspek kebudayaan di Yogyakarta setidaknya
ada 3 rumusan pokok yaitu spiritualitas, pandangan hidup, dan etika.
Spiritualitas yang dimaksudkan bukan spiritualitas yang bersifat entertaintment
namun harus yang intuitif. Spiritualitas yang menyemangati hidup manusia Jawa
sekarang ini menurut pembicara kedua sudah banyak tererosi karena semua dinilai
dengan uang atau materi. Sejalan dengan itu sikap prasaja manusia Jawa juga
berubah. Perubahan ini terjadi juga akibat pemelesetan-pemelesetan adagium yang
ada dalam masyarakat Jawa oleh karena pengaruh berbagai nilai kehidupan lain.
Adagium rila, narima ing pandum, alon-alon waton kelakon, gremat-gremet waton
slamet, dan seterusnya yang menjadi pedoman hidup keseharian dimaknai secara
harfiah sebagai kelambanan, kemalasan, klelar-kleler, dan sebagainya.
Seharusnya adagium itu dihayati dengan rasa.
Dalam kacamata demokrasi kaum muda hirarki
normatif Jawa dipandang sebagai sikap feodal yang menghambat demokratisasi dan
bertentangan dengan prinsip persamaan/egalitarian yang menjadi pilar utama
demokrasi. Perbedaan cara pandang yang diametral ini diakibatkan oleh
perbenturan tata nilai lama dengan unsur-unsur budaya baru yang secara
substansial berbeda titik berangkatnya, yakni pola pikir Jawa yang normatif
karena kuatnya prinsip menjaga harmoni berhadapan dengan budaya baru yang lebih
berorientasi pada pencapaian hasil secara kuantitatif.
Etika Jawa yang semula sangat humanis
mengalahkan kepentingan materi, ambisi pribadi, dan gejolak hawa nafsu yang
semuanya itu terabadikan dalam berbagai petuah dan pepatah serta tergambarkan
dalam tokoh-tokoh pewayangan, telah tergantikan oleh perilaku budaya yang
sangat konsumtif, hedonis, dan materialistik. Berkaitan dengan kondisi seperti
itu perlu dilakukan langkah strategis untuk memasyarakatkan nilai-nilai budaya
Jawa, yakni: dengan sosialisasi (melalui pendidikan, kelompok budaya, desa
budaya, kelompok masyarakat/organisasi, dan sebagainya); kajian/penelitian dan
pengembangan (historis, filosofis, implementatif); regulasi/hukum (perlindungan
terhadap situs budaya, kreasi budaya, perangkat budaya), pengaturan/seleksi
tempat hiburan; publikasi.
Pada sesi kedua dinyatakan bahwa tata ruang
Keraton Kasultanan Yogyakarta tidak ada duanya di dunia. Semuanya itu tidak
lepas dari karya cipta Sultan Hamengku Buwana I. Semua tata ruang yang
diciptakan untuk keratonnya itu sarat dengan makna yang semuanya bisa dijelaskan
dan kemudian menjadi rambu-rambu bagi perilaku kehidupan masyarakat Jawa,
khususnya Yogyakarta. Sesi ini juga menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki
karakteristik budaya Jawa, di antaranya adalah religius ber Tuhan; mempunyai
toleransi keagamaan yang besar; sangat menekankan aspek kerukunan, hormat dan
keselarasan sosial; lebih suka memecahkan persoalan dengan sikap mawas diri
atau tepa selira; bersifat akomodatif (momot).
Pada sisi lain karena budaya Jawa dianggap
sebagai sesuatu yang penting, berharga, dan diprioritaskan sehingga sebagian
warga masyarakat Jawa terlalu membanggakan tanpa reserve. Sikap demikian itu
membuat mereka tidak lagi kritis dan tidak lagi bisa melihat adanya nilai-nilai
negatif yang ada di dalam budaya Jawa yang mungkin tidak lagi berguna. Oleh
karenanya perlu dikemukakan beberapa langkah atau skenario dalam
mengaplikasikan budaya Jawa-Yogyakarta yang bernilai positif dalam membangun
manusia sebagai sistem sosial.
Langkah itu di antaranya dengan
memasyarakatkan ungkapan-ungkapan yang dapat dimanifestasikan ke perilaku
seperti memasyarakatkan ungkapan Hamemayu Hayuning Bawana yang dapat diperinci
sebagai Rahayuning Bawana Kapurba Wasesaning Manungsa 'kelestarian dunia lebih
dipengaruhi oleh kebijaksanaan manusia'. Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning
Nagara 'darma bakti kesatria mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan negara'.
Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane 'keselamatan dan kesejahteraan
manusia terwujud karena perikemanusiannya'. Ungkapan lainnya adalah Asih ing
Sesami 'mencintai sesama' yang sepi ing pamrih rame ing gawe; falsafah Golong
Gilig (menyatunya pemimpin-kawula, Tuhan dan umat-Nya); falsafah Sawiji (orang
harus selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa), Greget (seluruh aktivitas dan
gairah/semangat hidup harus disalurkan melalui jalan Tuhan Yang Maha Esa),
Sengguh (bangga diciptakan sebagai makhluk sempurna naun tidak boleh sombong),
Ora Mingkuh (meskipun banyak mengalami banyak kesukaran dan hambatan dalam
hidup, namun tetap dijalani dengan penuh tanggung jawab, dilandasi selalu
percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil, Penyayang, dan Pengasih).
Membicarakan budaya Jawa-Yogyakarta tentu
tidak bisa lepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat
pemerintahan dan pusat kebudayaan yang sarat dengan nilai filosofi. Pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan dasar falasafah budaya asli Yogyakarta seperti
Hamemayu Hayuning Bawono, Golong Gilig, Sewiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh,
Hamengku, Hamangku, dan Hamengkoni di
dalam aplikasinya diperlukan payung hukum yang harus disosialisasikan sampai ke
lapisan masyarakat yang paling bawah di DIY. Perlu melakukan pemilihan dan
pemilahan terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang masih relevan sebagai faktor
pemersatu dan pendorong pembangunan di DIY dalam segala bidang. Perlu dilakukan
reinventarisasi, reinterpretasi, revitalisasi, dan pemberian ruh baru terhadap
nilai-nilai budaya Jawa yang baik tetapi sudah tidak lagi relevan dengan
zamannya. Yogyakarta dengan keunggulan aset budayanya sebagai factor endowments
sangat potensial dikembangkan dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai
pelaku pariwisata sehingga keuntungan yang diperoleh tidak hanya dari sisi
ekonomi namun juga keuntungan di bidang budaya.