Nasionalisme adalah paham pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme
terdiri atas persaudaraan darah/ keturunan, suku bangsa, tempat tinggal, agama,
bahasa dan budaya. Kemudian berubah dengan masuknya dua unsur yaitu persamaan
hak bagisetiap orang untuk memegang persamaan dalam masyarakatnya serta adanya
persamaan kepentingan dalam bidang ekonomi. Aspek mendasar timbulnya
nasionalisme adalah aspek sejarah. Melalui aspek sejarah biasanya suatu bangsa
memiliki rasa senasib sepenanggungan serta harapan untuk menggapai masa depan
yang lebih baik. Dengan demikian nasionalisme adalah sikap politik dan sikap
sosial suatu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, tujuan
dan cita-cita.
Nasionalisme sebagai suatu peristiwa sejarah, selalu
bersifat kontekstual (artinya meruang dan mewaktu), sehingga nasionalisme di
suatu daerah dengan daerah lain atau antar zaman tidaklah sama. Misalnya saja
bagi negara yang sudah lama merdeka, nasionalisme dapat mengarah pada
imperialisme. Biasanya nasionalismenya bersifat konservatif. Bagi negara
semacam ini akan mempersulit timbulnya nasionalisme di daerah-daerah
jajahannya. Sedangkan bagi negara yang masih terbelenggu imperialisme dijajah
nasionalisme bersifat revolusioner dan progresif. Dengan demikian nasionalisme
sarat dengan kepentingan suatu bangsa. Tumbuh dan berkembangnya nasionalisme
sangat dipengaruhi oleh nasionalisme yang dianut kelompok dominan suatu bangsa.
Tidak
ada yang berani menyangkal bahwa Indonesia merupakan satu- satunya negara
kepulauan di dunia yang dianugerahi dengan beragam kekayaan alam maupun
kekayaan budaya. Begitu banyak budaya daerah yang tersebar di seluruh tanah
air, yang kesemuanya itu bermuara menjadi budaya nasional bangsa Indonesia.
Perbedaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk berpecah belah ataupun
terkikisnya solidaritas di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu tidak pula
layak untuk dijadikan benteng perlindungan bagi tumbuh kembangnya sikap sukuisme yang pada akhirnya merupakan kendala dalam
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyikapi kondisi aktual yang
berkembang, bangsa ini dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, menjaga
kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme, yang berarti juga menjaga kemurnian
nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, berupaya secara aktif mengantisipasi
perkembangan situasi zaman khususnya arus globalisasi yang sedemikian hebat
pengaruh implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada gilirannya,
dalam mengawal reformasi yang terus bergulir, maka semangat nasionalisme pemuda
perlu digugah kembali.
Dalam
konteks Indonesia, nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai
kemanusiaan (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya,
mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa untuk hidup
bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam hubungan-hubungan
sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul manakala
suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara
kebangsaan. Sedangkan, ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius
seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh
dari budaya Indonesia.
Nasionalisme
religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keberagamaan.
Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius
bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat. Antara
nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan dan tidak
berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat
nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis. Sejumlah
aktivis pemuda menilai prinsip nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia umumnya
telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari
luar. Kondisi ini terlihat semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas
pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri pemuda. Jika kondisi dilematis
itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemuda Indonesia umumnya belum sadar
akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa. Jika
kita tengok sejenak ke belakang puluhan tahun yang lalu, bagaimana pemuda
Indonesia berusaha dengan gigih menyatakan keanekaragaman yang dimiliki bangsa
Indonesia dalam satu wadah yaitu “ Indonesia”. Hal demikian bukanlah perkara
mudah yang sekali jadi, semudah membalikkan telapak tangan, melainkan
menghadapi berbagai kendala. Bayangkan saja, bukankah tidak mudah menyatukan
berbagai pendapat yang nota benenya berlatar belakang berbeda?.
Tidak
dapat dipungkiri, semakin ke timur kondisi alam Indonesia semakin kering dan
panas, hal itu menyebabkan sifat dan karakter masyarakatnya juga menjadi
semakin tempramental, sensitif dan mudah sekali tersinggung. Alhasil sikap
sukuisme tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia. Untungnya kondisi
demikian tidak menyurutkan semangat para pemuda saat itu. Mereka berusaha
mengesampingkan ego kedaerahan mereka demi sebuah janji persatuan. Yakni satu
bangsa, tanah air, dan bahasa.
Dengan
berjalannya waktu, semangat heroik dalam janji yang terkenal dengan Sumpah
Pemuda itu mengalami pergeseran arti maupun pemahamannya. Arti Sumpah Pemuda
tentu berbeda dari saat perjuangan dulu. Bila dulu dijadikan sebagai alat
pemersatu, maka seharusnya kini dijadikan sebagai cambuk bagi pemuda Indonesia
untuk berbuat yang lebih baik demi kemajuan negara. Kenegaraan Indonesia
berkembang sesuai dinamika perubahan yang amat besar terutama berkaitan dengan
globalisasi dan reformasi. Dalam perubahan ini setiap komponen bangsa termasuk
pemuda dituntut kontribusinya sesuai kemampuan, kompetensi, dan profesinya.
Pemuda dituntut untuk mengembangkan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
budaya bangsa, sikap keteladanan dan disiplin. Di sisi lain, perlu diciptakan
suasana yang lebih dinamis dan demokratis yang mendorong pemuda untuk berkiprah
dalam transformasi pembangunan baik regional maupun skala global.
Ironisnya,
fenomena yang kita temui dalam masyarakat saat ini adalah salah satu hari
bersejarah yang menentukan kelanjutan nasib bangsa Indonesia hanyalah dijadikan
rutinitas biasa, atau peringatan tahunan yang lewat begitu saja tanpa pemaknaan
yang mendalam. Parahnya, jangankan untuk memahami makna di balik arti sumpah
pemuda itu sendiri, masih ada saja sebagian bahkan banyak pemuda kita yang
tidak mengetahui kapan hari sumpah pemuda itu. Dengan santainya dan tanpa rasa
bersalah sedikitpun mereka berdalih “ yang lalu biarlah berlalu, tidak baik
mengungkit- ungkit masa lalu”. Jika kondisi pemuda kita seperti ini, lalu
bagaimana nasib bangsa kita ke depan?. Bukankah pemuda disebut- sebut sebagai
agent of change yang diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih
baik?. Ironis memang, jika bangsa Indonesia sendiri enggan untuk mungkin
sekedar tahu hari besar dalam sejarah bangsanya. Padahal bangsa yang besar
adalah bangsa yang tahu sejarah bangsanya.
Pernahkah
kita bertanya pada diri kita” apa yang telah kita berikan pada bangsa kita
tercinta ini, atau kebanggaan apa yang telah kita torehkan untuk mengharumkan
nama negeri ini? Jawabannya ada dalam diri kita masing- masing pemuda. Apa yang
dapat kita berikan pada negara tercinta ini tentu sangat berbeda dengan masa
1928-an. Bila pada masa itu para pemuda selain berikrar setia untuk bangsa
Indonesia mereka juga mempertaruhkan nyawa dan raga untuk meraih kemerdekaan
sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Saat ini yang dapat kita berikan
kepada bangsa ini adalah prestasi-prestasi membanggakan untuk semua rakyat
Indonesia. Sedikitpun apa yang kita berikan kepada bangsa bukan menjadi sebuah
ukuran, namun makna di dalam pemberian tersebut.
Potret
buram kondisi pemuda kita saat ini nampak jelas di depan kita. Mungkin ada
sebagian putra- putri bangsa ini yang telah mengharumkan nama bangsa di mata
dunia lewat berbagai prestasi yang mereka torehkan. Akan tetapi, tidak sedikit
pemuda- pemudi bangsa dengan berbagai masalah yang mereka anggap sudah lumrah
dan biasa terjadi di kalangan pemuda, seperti tawuran, seks bebas,
penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Mereka berlomba- lomba berkiblat pada
dunia barat. Kecintaan pada produk dalam negeri mulai hilang dengan semakin
banyaknya produk asing (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.)
membanjiri Indonesia., Membeli produk luar negeri mereka anggap suatu
kebanggaan tersendiri yang dapat menaikkan prestise mereka di hadapan
masyarakat. Tampaknya westernisasi telah menyulap pemuda negeri ini menjadi
lupa akan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh
budaya timur. Selain itu, munculnya sikap individualism yang menimbulkan
ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka
orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Jika
kita gambarkan, nasionalisme saat ini berada di titik nadir, dimana semua
kebijakan berkiblat pada neoliberalisme, sehingga kesejahteraan rakyat jauh
dari cita- cita pendiri bangsa. Pada tahun ini juga, moralitas Indonesia
mencapai titik kulminasi terendah. Korupsi bukan hanya menjadi bagian dari
budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian untuk
mendapatkan tambahan bagi biaya hidup yang semakin membumbung tinggi. Sedangkan
bagi yang sudah hidup layak, korupsi merupakan bagian dari kekuasaan.
Lalu,
siapa yang patut dipersalahkan untuk semua permasalahan pelik yang melanda
negeri ini?, pemerintah ?, globalisasi? atau memang nasib bangsa kita seperti
ini?. Sangatlah tidak tepat jika kita mengkambinghitamkan pemerintah atas semua
kekacauan yang melanda negeri ini, karena pemerintah sendiri telah melakukan
berbagai upaya. Namun semua itu tidak akan berarti apa- apa tanpa dukungan dari
segenap masyarakat Indonesia. Atau sangatlah tidak adil melemparkan kesalahan
sepenuhnya kepada pemuda yang sebenarnya mereka sendiri berada dalam proses
pencarian jati diri mereka masing- masing, serta salah besar jika kita
menyalahkan globalisasi. Karena kehadiran globalisasi sendiri tidak bisa kita
hindari. Globalisasi memang berpotensi memberikan dampak positif dan juga
dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Hanya ada dua pilihan dalam era ini,
menjadi tuan rumah atau mungkin pembantu di negeri sendiri?. Semua itu
tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.
Globalisasi
bisa menguntungkan apabila kita menyikapinya dengan benar. Letak dari masalah
ini menunjukkan bahwa kurang kokohnya fondasi mental dari para pemuda kita yang
tentunya berpangkal dari bagaimana mereka memperoleh pendidikan pertama dalam
keluarga. Jika pemuda bangsa telah dibekali pendidikan mental maupun lahiriah
yang kuat maka hal tersebut tidak akan terjadi. Sebab jika kita bandingkan
bagaimana cara mendidik orang dulu jauh sebelum perkembangan teknologi
mempengaruhi hidup mereka tampak berbeda dengan kondisi sekarang, dimana
teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesatnya, dan segala
sesuatu menjadi sangat mudah. Seakan tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bermunculan bagaikan jamur yang membela hak
asasi manusia, Komisi Nasional (KOMNAS) HAM dan perlindungan anak yang hadir
menuntut keras sekecil apapun kekerasan pada anak. Hasilya memang sebanding,
bermunculan anak- anak dengan prestasi yang gemilang. Namun sedikit hambar,
karena tidak dibarengi dengan fondasi keagamaan yang kokoh. Jika kita
perhatikan, nampak ketidakseimbangan antara IQ (intelegensi Quetient), EQ
(Emotional Quetient), dan SQ (Spiritual Quetient). Akibatnya, korupsi terjadi
dimana- mana. Ironisnya, pelaku korupsi bukanlah orang yang tidak berpendidikan,
melainkan seseorang dengan rentetan gelar di belakang namanya yang cukup
menjadi bukti bahwa mereka adalah orang- orang dengan tingkat intelektual yang
tinggi. Inikah hasil cetakan zaman modern? Mungkin berhasil secara materiil
tapi nol besar untuk pendidikan mental.
Walau
bagaimanapun bukanlah sikap yang bijak jika kita hanya bisa saling menyalahkan.
Apalagi jika kita mengkambinghitamkan pemuda. Karena hal itu tidak akan mampu
menyelesaikan segala permasalahan yang menimpa negeri kita tercinta. Alangkah
jauh lebih baik jika kita menyatukan segenap kemampuan yang kita miliki demi
kemajuan negeri ini. Ada beberapa langkah alternatif yang bisa ditempuh untuk
menumbuhkan kembali nasionalisme di kalangan pemuda, diantaranya: pertama,
perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai nasionalisme
dalam diri pemuda Indonesia. Kegagalan meredefinisi nilai-nilai nasionalisme
telah menyebabkan hingga kini belum lahir sosok pemuda Indonesia yang dapat
menjadi teladan. Padahal tantangan pemuda saat ini berbeda dengan era tahun
1928 atau 1945. Jika dulu nasionalisme pemuda diarahkan untuk melawan
penjajahan, kini nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi
kepentingan pasar yang diusung kepentingan global, dan nasionalisme yang diusung
untuk kepentingan negara. Dengan demikian peran orang tua masih sangat
mendominasi segala sector kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua
diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi pembangunan di semua
daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam diri pemuda. Ketiga,
Menempatkan semangat nasionalisme pada posisi yang benar. Nasionalisme tidak
dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu
upaya untuk membangun keunggulan kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan
sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau
semangat anti semua yang berbau asing. Profesionalisme adalah salah satu kata
kunci dalam upaya mendefinisikan makna nasionalisme saat ini. Dengan demikian,
nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme.
Ke
depan, generasi muda sebagai generasi penerus berada dalam posisi revitalizing
agents. Pemuda sebagai sumber kekuatan moral reformasi perlu tetap terbina agar
selalu berlandaskan pada kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap
moral yang luhur, berkepribadian nasional dan berjiwa patriotisme. Beberapa
point di atas merupakan agenda penting yang harus kita lakukan untuk menjadi
tuan rumah di negeri sendiri di era globalisasi. Karena walau bagaimanapun
Kerusakan yang terjadi pada generasi muda, adalah sebuah isyarat, bagi
kehancuran sebuah bangsa. Bagaimana tidak, pemuda hari ini, adalah orang tua
yang akan datang. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa berjaya, jika generasi
mudanya tidak punya jati diri.
Dampak negatif kurangnya rasa nasionalisme pada
kalangan muda
Kurangnya rasa nasionalisme pada kalangan remaja dapat berdampak buruk bagi
NegaraIndonesia yaitu banyak pemuda Indonesia yang perlahan-lahan mulai
meninggalkan kebudayaanIndonesia dan sangat sedikit kalangan pemuda yang
menaruh perhatian pada masalah bangsa,karena mereka lebih tertarik pada
kehidupan hedonios ( kesenangan ).Kita bisa melihat banyak pemuda yang
tidak perduli dengan kondisi keterpurukan yang melanda bangsa ini.
Seiringdengan zaman dan budaya - budaya asing yang kian merajalela di
Indonesia. Jiwa dan rasaNasionalisme yang tertanam dalam diri bangsa Indonesia
semakin luntur .Masyarakat Indonesiayang cenderung menggunakan produk luar
negeri . Mereka kurang menghargai produk dalamnegeri , mereka merasa kalau
memakai produk dalam negeri akan terlihat kuno , jadul , dankurang berkualitas
.
Padahal produk – produk dalam negeri kualitasnya tidak kalah
dengan luar .Ini adalah hal yang sangat simple , tapi kalau di biarkan terus
menerus akan fatal akibatnya.Indonesia akan kehilangan jati dirinya . Jiwa
Nasionalisme yang membara yang telah di torehkandan di buktikan lewat tinta
sejarah pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan akan terbuangsia-sia ,
tetesan demi tetesan darah dari para pahlawan akan terbuang sia- sia.Bahkan
dengan mudah kita membiarkan kebudayaan bangsa kita diambil oleh bangsa
lain,kalangan pemuda semestinya sadar dengan masa depan negara ini.Selain itu
Ada juga generasimuda yang masih gemar tawuran dengan sesama. Pemuda dengan
pemuda, pelajar denganpelajar, mahasiswa dengan mahasiswa atau kombinasi antar
ketiganya. Mahasiswa denganmasyarakat, pelajar dengan mahasiswa dan seterusnya.
Tindakan ini bukan saja membahayakankeselamatan umum, tapi juga dapat
menimbulkan disintegrasi bangsa, pembelah rasakebangsaan. Inilah potret buram
generasi muda Indonesia masa kini yang terus terjadi hinggasekarang
0 komentar:
Posting Komentar