ROMANTIKA BUS KOTA JAKARTA (cerpen)
Aku berangkat lebih awal, tetap saja. Sudah penuh! Padahal baru saja aku berhasil memenangkan ‘perlombaan’ dengan ibu-ibu bawel, yang setahuku ingin selalu menang sendiri. Sekian lama berangkat pada jam yang sama, sedikit banyak membuatku tahu tabiatnya: menyerobot tempat duduk dengan beragam alasan, hingga membuatku atau yang lainnya mengalah, yang berarti berdiri sampai ke tujuan. Belum lagi iringan komentarnya sepanjang perjalanan, membuatku semakin gerah.
“Lecek lagi deh gue !” gumamku lirih. Padahal kemarin Tanti sudah mewanti-wanti aku untuk berpakaian serapi mungkin, katanya sih presentasiku kali ini akan berpengaruh banyak pada karierku. Dan katanya lagi nih, performance-ku juga menjadi pertimbangan, itu berarti bajuku yang hampir saban hari lecek setelah berdesakan di bus, saat presentasi harus rapi. Paling tidak itulah yang bisa kulakukan untuk menunjang penampilan, tak hanya otak dan tanggungjawab. Berarti pula, lagi-lagi aku mesti ke ruangannya Sapto, satpam kantor yang punya fasilitas rumah tangga di pos jaganya.
“Permisi mas !” Kudengar suara lantang di belakangku, sambil sedikit memaksa tubuhku untuk bergeser.
Pasti dia tidak buta. Tapi manusia ini nekat. Bayangkan, sejak dari Senen bus sudah sarat penumpang, bahkan untuk sekedar menggeser badan pun sulit, tetapi tetap saja dia mendesak agar bisa ngamen. Aku yakin banyak diantara penumpang jengkel padanya, namun pasti juga, tak ada yang bereaksi. Sudah lazim, seperti hari-hari biasanya.
“Ganteng-ganteng kok ngamen !” Madam bawel yang duduk disebelahku mulai berkomentar. “ Emangnya nggak ada pekerjaan lain ? Apalagi dia
kan
nggak cacat!” Kulihat ia mulai memonyongkan mulutnya, seperti biasa pula.
Mendengar komentarnya, kedongkolanku menjadi berlipat ganda. Mungkin dia pikir orang cacat hanya bisa ngamen, atau ngamen dimatanya sama dengan ngemis, dan cacat berarti harus menjadi pengemis. Terus, memangnya gampang cari pekerjaan? Huh !! Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba menjadi sewot begitu, meski hanya dalam bathin. Namun juga bukan berarti secepat itu aku memberi simpati pada pengamen brengsek ini.
Jakarta
yang panas, sudah mulai memanas walau mentari baru saja muncul dari peraduannya.
Cring !! Cepek, dan gopek saling beradu di kantong plastik artis bus
kota
itu. Aku tidak tahu, apakah recehan itu merupakan bentuk apresiasi terhadap seni atau hanya harga yang harus dibayar untuk buang sial, daripada dipaksa dan diancam. Sebab tak jarang diantara mereka ada yang tak tulus membarterkan suaranya dengan sekantung recehan, meski sesungguhnya dia juga tahu bahwa suaranya lebih sering membuat berisik daripada menghibur. Kalau begitu, aku jadi berpikir untuk mereka yang memang tulus menjalani pekerjaan ini. Mereka hanya menjadi korban salah cap. Belum lagi kalau ada razia, mereka menjadi bagian dari kehidupan premananisme yang kata penguasa mesti diberantas.
Tak lama bus melaju, kulihat dua bocah dengan segepok tutup botol naik ke dalamnya. Ngamen lagi? Pasti ! Tetapi pengamen kali ini mungkin tidak menjual suara, melainkan tampang miskin mereka untuk wujud belas kasihan. Dua gembel kecil yang kini tepat di depanku mulai melontarkan kata-kata pembuka, tak semerdu MC pementasan musik dangdut, apalagi dari kesan enak didengar, atau gaulnya VJ MTV, jauh, jauh sekali!
“Kamu tidak sekolah?” Pertanyaan klasik, mungkin untuk sebuah simpati basa-basi. Dan, cring !! Kudengar recehan mengalir ke kantung kusut yang dipegang oleh tangan mungil bocah perempuan kumel tujuh tahunan itu. Aku jadi tahu, jika itu adalah sebuah simpati, maka di
Jakarta
ini simpati adalah cepek atau paling pol, gopek! Tidak akan mengubah apa-apa, apalagi hanya dengan pertanyaan dan komentar basa-basi.
Ciiiiit!!! !! Aaaaa..aaa !!! Gila, sopir bus ngerem mendadak, membuat seisi bus panik.
Hampir saja aku terpelanting ke depan, kalau saja peganganku tidak cukup kuat, di tambah
Om
super gembul di belakangku mendorongku cukup kencang.
“Pagi-pagi udah tawuran !” Seru pengasong yang menggunakan kesempatan berhentinya bus, untuk melompat ke dalamnya. “Permen rasa baru mbak, mas !!” serunya kemudian.
Sementara dijalanan kulihat gerombolan pelajar saling berlarian, tak ayal lagi jalanan menjadi macet. Brakk !! dok-dok-dok Tak jarang, bus yang kutumpangi menjadi sasaran lemparan batu. “Asal nggak ke kaca aja, aman,” pikirku. Tak ada keheranan, atau kepanikan diantara yang berjejal duduk maupun berdiri di sekelingku. Ini bukan hal baru, yang kutahu biasanya mereka melakukannya sepulang sekolah. Jika sepagi ini, barangkali pemanasan.
Sudah kuduga, pasti akan macet total. Trafic light di perempatan depan meskipun menyala, tak berperan apa-apa. Dimata pengemudi, merah, kuning yang kelihatan cuma hijau, siapa cepat dia dapat. Meski kenyataan menjadi sebaliknya, hijau, kuning menjadi merah semua, karena tak ada yang bisa jalan. Tak banyak yang bisa diperbuat, kecuali pasrah. Herannya ada saja orang-orang egois yang membunyikan klakson, seolah mobil di depannya jelek tak bisa melaju.
Kulihat peluh mulai mengalir dari sosok manis, yang sejak awal kuperhatikan. Berkali-kali ia mendesis, manakala melihat ke pergelangan tangan. Sama denganku, telat barangkali bencana. Syukur kalau hanya potong gaji, namun kalau masih masa observasi, itu berarti kontrak akan berhenti tiga bulan saja. Tidak disiplin. Selanjutnya, lagi deh menjadi pegawai yang pekerjaannya adalah mencari pekerjaan. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia mencoba mengusir kegusaran hatinya. Wow, gadis itu semakin mempesona. Hanya sebatas itu, mengagumi, sebab kemudian pasti ia akan segera menghilang di belantara
Jakarta
. Mengenalinya lagi di tengah jutaan manusia, cukup sulit, terlebih sehabis lebaran nanti. Wajah-wajah baru akan segera menghiasi ibukota republik ini.
Alhamdullilah, meski kantorku tak jauh lagi aku dapat tempat duduk juga. Lumayan, mubazir kalau tidak dimanfaatkan, lha wong di luar
sana
, (maksudku di gedung sebelah ketika busku melintasi kantor DPR/MPR) mereka pada berebut kursi sampai gontok-gontokan, masa di sini kusia-siakan. Apalagi aku bakal bersanding dengan simanis yang sejak tadi kuperhatikan. Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba.
“Turun di mana Mbak?” diantara kepengecutanku, bunyi juga mulutku.
“Grogol,” Jawabnya acuh. Kembali wajahnya menembus kaca, menerawang jauh ke luar dari bus yang sedang kami tumpangi.
“Takut telat ya?”
Ia memandangku, merespon pertanyaanku dengan melemparkan senyuman, senyuman yang sangat dipaksakan. Kecut! Itu bukan berarti
dia tidak menjadi manis dimataku. Lagian sudah biasa, sebab tak jarang pertanyaan akan menghasilkan prasangka. Tidak dicuekin saja sudah syukur, jadi tak perlu berharap lebih
kan
?
Persimpangan Slipi, sebagian dari penumpang turun. Gadis manis di sampingku tak juga beranjak. Namun belum juga mau bicara, diam diantara deru laju kendaraan. Barangkali dia merasa sendirian, sendirian di tengah keramaian, atau gundah di tengah ketidakpedulian.
Pria kekar yang sejak dari Slipi berdiri di sebelahku, mulai angkat bicara; meski sejak awal ia kukira seorang penumpang biasa. Kenyataannya, ia penumpang luar biasa.
“ Slamat pagi bapak ibu! Saya di sini tidak ingin berbuat jahat pada bapak ibu sekalian, kalaupun saya seperti ini (maksudnya kelihatan sangar kali), terimalah sebagaimana saya adanya. …Lalu…bla..bla…”.ia terus berbicara, dan diujungnya “ Tolonglah saya bapak ibu, saya tidak ingin masuk penjara lagi, saya kapok dan tobat. Dapatlah kiranya bapak ibu membantu saya. Dengan memberikan uang seribu atau limaribu perak, bapak ibu tidak akan jatuh miskin karenanya.”
Wow ! Sebuah pengakuan yang fantastis, gambaran sebuah negeri yang adiluhung dengan budaya timurnya yang patut diacungi jempol. Tentulah negeri ini bukanlah negeri sembarangan, jebolan penjahatnya saja berani memproklamirkan pertobatan. Cuma persoalannya hanya satu, tidak punya ongkos untuk pulang kampung. Klasik ! Tetapi sungguhkah !!!!
Kalau saja aku tidak teringat pesan Tanti, sudah kugaruk kepalaku, pusing mencoba berpikir jadi orang bijak, atau mencoba peduli pada negeri sakit ini. Andai saja ia benar, barangkali gadis di sampingku tak akan gelisah. Ada ketakutan manakala ia menatap pada alumnus Cipinang itu, wajar sebab sudah biasa pula pengakuan menjadi sarana cari makan, atau barangkali menambah panjang jam bergadang dengan menenggak alkohol produk dalam negeri alias arak oplosan, artinya recehan yang didapat bisa untuk tambahan porsi, gitu! Murah meriah katanya. Yah artinya,…..kejujuran menjadi sebuah kebohongan baru.
Tap ! Tiba-tiba tangan mungil menempel erat tepat dipergelanganku, rasanya seperti nonton film dengan lakon horor yang belakangan menjadi tontonan yang sangat digemari. Kaget, tapi aku tak ingin melewatkannya, kubiarkan jemari itu tetap ada di
sana
, dan kuberanikan mengarahkan pandangan ke pemiliknya. Deg! Senyumnya kali ini beda, masih dipaksakan memang, namun senyum itu lebih bersahabat. Secepat inikah ia berubah?
“Mas, maaf ya!” segera ia melepaskan pegangannya, mengangkat kepalanya yang sebentar sempat berada di pundakku. Semuanya telah berlalu tanpa sempat aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi, seiring berlalunya alumnus Cipinang yang barangkali dapat menjawabnya. Teror !
“Hah…!” tanpa sadar aku mengucapkannya. Gadis di sebelahku juga sepertinya ikutan kaget, namun ia tak banyak bereaksi, bahkan menatapku pun tidak. Keramahan dan kelembutannya hanya sekejap, kejadian barusan tak pernah ada di kepalanya. Yang ada kini ia bersiap untuk turun, meninggalkan aku yang karena pesonanya telah ikut melaju sampai ke Grogol. Itu berarti aku kelewat, dan mesti balik secepatnya agar tak terlambat presentasi. Huh, sial! Bus
kota
telah membawa romantika pagi ini, sekaligus kesedihan karena mungkin aku tak dapat mengulanginya lag