Rabu, 08 Desember 2010

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP WARIA DALAM SEGI SOSIAL

Diposting oleh Unknown di 06.47
Masyarakat, sebagai sebuah kumpulan individu memiliki sejumlah norma dan nilai sosial di dalamnya yang tujuannya untuk menata keteraturan dalam masyarakat itu. Norma dan nilai sosial itu diperoleh bukannya tanpa proses, melainkan lewat proses pengintegrasian berbagai macam kepentingan dan perbedaan antar individu dengan pedoman agama atau kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketika nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang telah disepakati bersama itu dilanggar, maka akan terjadi suatu kondisi yang tidak teratur dalam masyarakat tersebut dan hal ini akan menyebabkan adanya disintegrasi masyarakat.

Misalnya kemunculan seorang waria yang merupakan sebuah fenomena sosial tersendiri bagi masyarakat kita dimana sampai saat ini waria adalah salah satu kaum yang terpinggirkan, bahkan menjadi kaum yang paling terpinggirkan. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap eksistensi waria, bahkan secara terang-terangan mereka beranggapan negatif, seperti anggapan bahwa waria adalah sampah masyarakat, waria sebagai penyebar penyakit masyarakat, dan kesemuanya itu seolah menyiratkan bahwa waria selama ini diperlakukan sebagai sebuah objek, bukan subjek.

Sehingga waria sering mendapat perlakuan yang semena-mena, dihina, dan dicaci
Jika dilihat secara fisik, waria merupakan salah satu bagian dari penyuka sesama jenis (homoseksual). Namun demikian ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria. Sebagai contohnya adalah pada penampilan pada pakaian. Homoseks tidak merasa perlu berpenampilan dengan memakai pakaian perempuan, sebaliknya seorang waria merasa dirinya adalah perempuan sehingga ia harus berpenampilan halus sebagaimana perempuan.

Masyarakat, dalam mereka memaknai waria tidak terlepas dari ruang-ruang yang dipakai oleh waria itu untuk beraktivitas, khususnya dalam konteks ruang secara publik dimana identitas seseorang ter-representasikan melalui ruang publik tersebut sehingga masyarakat bisa mengetahui identitas seseorang dengan melihat perilakunya dalam ruang publik. Selain ruang publik, ruang yang dipakai waria untuk beraktivitas secara sosial adalah dalam keluarga. Kemunculan waria dalam masyarakat, pastilah bermula dari keberadaannya dalam keluarga karena keluarga adalah ruang pertama kali manusia hidup secara sosial dan tempat dimana pertama kali seseorang mendapat pelajaran mengenai kepribadian lewat proses-proses sosialisasi. Konteks budaya mendapat perhatian tersendiri dalam kemunculan waria. Proses-proses ketika masih kanak-kanak, kemudian ketika dibesarkan dalam lingkungan keluarga lalu mendapatkan sebuah kesadaran akan kodrat dirinya pada masa remaja menjadi faktor yang berperan penting dalam proses seseorang “menjadi” seorang waria.

Saat waria memutuskan pilihan hidup untuk menjadi seorang waria seringkali ditentang.oleh pihak keluarga, meskipun itu bisa juga disebabkan karena dari keluarga itu sendiri yang tidak menyadari ada anggota keluarganya yang sejak kecil telah melakukan perilaku yang “tidak seperti biasanya”. Keluarga baru akan melakukan tindakan ketika waria tersebut telah dewasa, ketika waria telah menemukan ruang dan komunitas mereka sendiri dimana komunitas itu sudah terlepas dari tataran keluarga bahkan setelah menjadi seorang PSK, karena kebanyakan keberadaan waria di jalan dan bekerja sebagai pekerja seks komersial adalah para waria yang memang tidak mendapat tempat dalam keluarganya.

Keluarga, yang semestinya menjadi pelindung, menjadi tempat yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi tiap individu akan berubah menjadi tempat yang menakutkan, sesuatu yang tidak memberikan rasa nyaman saat seseorang memutuskan menjadi waria dan keluarga menolaknya. Ketika fungsi keluarga sebagai tempat menemukannya rasa aman dan nyaman sudah tidak berfungsi lagi, maka waria akan menghadapi tekanan-tekanan sosial dalam masyarakat. Misalnya tekanan sosial berupa :

1.Diskriminasi, diskriminasi terjadi ketika ada perbedaan yang ditujukan kepada seseorang yang mengakibatkan orang tersebut diperlakukan tidak adil, berdasarkan mereka tidak termasuk, atau dianggap termasuk kelompok tertentu.
2.Perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya diejek, dihina, diludahi, dipegang-pegang (pelecehan seksual), serta pemerasan.
3.Memberikan stigma yang buruk, mengisolir dan memandang rendah terhadap kelompok tertentu.
4.Upaya penolakan, cemoohan dan pengucilan yang dilakukan masyarakat kebanyakan kepada kelompok tertentu.

Bentuk-bentuk tekanan sosial seperti yang disebutkan di atas seringkali didapatkan oleh waria. Sebagai contoh, waria yang menjajakan dirinya sebagai pekerja seks komersial saat sedang nongkrong di pinggir jalan. Kadang ada orang yang menghina keberadaan mereka dengan cara bersiul misalnya, atau dengan penggodaan baik secara verbal melalui kata-kata yang kurang enak didengar maupun dengan tindakan-tindakan seperti mencolek. Contoh lain, pada waria yang mencari uang dengan mengamen di lampu merah. Meskipun hanya dengan gerak bibir yang menyiratkan ekspresi jijik, menyepelekan, dan bahkan merendahkan, bagi waria hal itu merupakan hal yang sensitif. Kekerasan yang mereka alami lebih banyak berupa kekerasan simbolik.
Tekanan-tekanan yang dialami oleh waria dalam masyarakat lebih berat daripada tekanan yang mereka alami dalam keluarga. Hal ini berkaitan dengan kehidupan bermasayarakat yang selalu terdapat konsensus-konsensus yang harus dipatuhi sedangkan konsensus itu seringkali tidak memihak pada waria, namun malah menjadi alat untuk melegalkan masyarakat mencemooh dan melecehkan waria secara semena-mena dan seenaknya sendiri.

Dalam merespon keberadaan waria, masyarakat lebih condong ke perilaku sehari-hari waria tersebut dalam bermasyarakat. Sekalipun waria itu adalah seorang pelacur, ketika tingkah lakunya dalam kehidupan bemasyarakat sehari-harinya baik maka masyarakat tidak akan merasa keberatan dengan keberadaan mereka. Inilah pemaknaan masyarakat terhadap waria. Meskipun waria telah menemukan jati dirinya sendiri, bagaimanapun juga mereka hidup dalam suatu masyarakat yang mempunyai suatu tatanan sosial yang telah disepakati bersama.

Tatanan sosial dalam masyarakat di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa waria adalah sebuah “penyakit”, sebuah deviasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial sehingga mereka belum diterima secara seutuhnya dalam masyarakat. Selain aturan-aturan sosial, salah satu faktor yang membuat waria belum bisa diterima dalam masyarakat kita adalah agama. Agama menjadi ganjalan yang keras bagi waria karena dalam konsep agama modern waria (bisa disebut homoseksual) dilarang keberadaannya.Sampai kapankah kaum waria akan terus termarginalkan? Sampai kapankah mereka tidak berhak mengakses-hak-hak kehidupan seperti layaknya manusia lain pada umumnya? Apakah hanya karena pandangan mengenai pembedaan laki-laki dan perempuan lantas seorang manusia ciptaan Tuhan tidak dapat memperoleh hak-hak nya sebagai seorang manusia? Waria juga berhak untuk hidup, waria berhak bekerja, waria berhak berinteraksi dengan semua orang, dan waria juga berhak untuk beribadah. Jika hak-hak manusiawi semacam itu tidak terpenuhi, apakah mereka masih bisa disebut sebagai manusia? Waria juga manusia dan hanyalah manusia biasa yang berhak memperoleh hak-hak hidup selayaknya manusia pada umumnya namun hanya caranya saja yang salah dalam menjalani hidup .

1 komentar:

Jejak Manusia on 4 Februari 2019 pukul 22.24 mengatakan...

mereka "transgender" memiliki hak dankewajiban yang sama seperti warga negara lainya, hanya saja mereka memiliki identitas atau jadi diri yang mereka ubah karna ketidak sesuaian dengan jati diri.
polemik yang terjadi ketika melakukan perubahan identitas gender adalah sebuah pelanggaran kenormaan pada masyarakat maka masyarakat pun akan memberikan hukuman sosial terhadap mereka.
mungkin bisa dikaji lagi, apakah menjadi seorang transgender atau waria adalah sebuah pelanggaran kenormaan dimasyarakat.

Posting Komentar

 

*Tya Lolita Vertika* Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos